Minggu, 12 April 2015

Hukum Pengangkutan pada umum nya


Sumber :
Buku Ajar: Hukum Pengangkutan


BAB I
PENDAHULUAN
Ruang Lingkup Pengangkutan Pada Umumnya
Dalam kegiatan sehari-hari kata pengangkutan sering diganti dengan kata transportasi”. Pengangkutan lebih menekankan pada aspek yuridis sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan perekonomian, akan tetapi keduanya memiliki makna yang sama, yaitu sebagai kegiatan pemindahan dengan menggunakan alat angkut.
Secara etimologis, transportasi berasal dari bahasa latin, yaitu transportare, trans berarti seberang atau sebelah lain; dan portare berarti mengangkut atau membawa. Dengan demikian, transportasi berarti mengangkut atau membawa sesuatu ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini berarti bahwa transportasi merupakan jasa yang diberikan, guna menolong orang atau barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat lain lainnya.  Sehingga transportasi dapat didefenisikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya.

Istilah ”Pengangkutan” berasal dari kata ”angkut” yang berarti ”mengangkut dan membawa”, sedangkan istilah ”pengangkutan” dapat diartikan sebagai ”pembawaan barang-barang atau orang-orang (penumpang)”.

Menurut H.M.N Purwosutjipto menyatakan bahwa “Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”.

Selanjutnya Abdulkadir Muhammad menguraikan istilah ”pengangkutan” dengan mengatakan bahwa pengangkutan meliputi tiga dimensi pokok yaitu : ”pengangkutan sebagai usaha (business); pengangkutan sebagai perjanjian (agreement); dan pengangkutan sebagai proses (process)”.

Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan. Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis yang disebut carter (charterparty). Jadi perjanjian pengangkutan pada umumnya diadakan secara lisan, yang didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi. Menurut Hasim Purba di dalam bukunya ”Hukum Pengangkutan Di Laut”, pengangkutan adalah ”kegiatan pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan maupun angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan. Jadi pengangkutan itu berupa suatu wujud kegiatan dengan maksud memindahkan barang-barang atau penumpang (orang) dari tempat asal ke suatu tempat tujuan tertentu”.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, warisan Pemerintah Hindia-Belanda dahulu yang hingga sekarang masih berlaku, diberikan tempat yang sangat banyak untuk mengatur hukum pengangkutan menyeberang laut (Buku ke II Titel ke V mengenai penyediaan dan pemuatan kapal-kapal – vervrachting en bevrachting van schepen; Titel ke VA tentang pengangkutan barang-barang; Titel ke VB tentang pengangkutan orang-orang. Keadaan pengaturan hukum pengangkutan di darat secara sumir di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang itu disebabkan karena dahulu kala memang lebih-lebih terjadi pengangkutan barang-barang dan orang-orang menyeberang laut daripada melewati darat.

Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Berdasarkan suatu perjanjian;
2)      Kegiatan ekonomi di bidang jasa;
3)      Berbentuk perusahaan;
4)      Menggunakan alat angkut mekanik.
Pengangkutan sebagai suatu proses mengandung makna sebagai serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa menuju tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan31. Sedangkan pendapat lain menyatakan pengangkutan niaga adalah rangkaian kegiatan atau peristiwa pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat pemuatan ke tempat tujuan sebagai tempat penurunan penumpang atau pembongkaran barang.
Rangkaian kegiatan pemindahan tersebut meliputi :
a)      Dalam arti luas, terdiri dari:
1        memuat penumpang dan/atau barang ke dalam alat pengangkut
2        membawa penumpang dan/atau barang ke tempat tujuan
3        menurunkan penumpang atau membongkar barang-barang di tempat tujuan.
b)      Dalam arti sempit, meliputi kegiatan membawa penumpang dan/atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/bandar udara tempat tujuan.
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan33. Defenisi ini memiliki kesamaan dengan defenisi sebelumnya, dengan sedikit perbedaan yaitu adanya penekanan pada aspek fungsi dari kegiatan pengangkutan, yaitu memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud untuk meningkatkan daya guna atau nilai.
Menurut Ridwan Khairindy, pengangkutan merupakan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Ada beberapa unsur pengangkutan, yaitu sebagai berikut:
1.  adanya sesuatu yang diangkut;
2.  tersedianya kendaraan sebagai alat angkut
3.  ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.
Menurut Soegijatna Tjakranegara, pengangkutan adalah memindahkan barang atau commodity of goodsdan penumpang darisuatu tempat ketempat lain, sehingga pengangkut menghasilkan jasa angkutan atau produksijasa bagi masyarakat yang membutuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barangbarangnya.
Secara yuridis defenisi atau pengertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun demikian, pengangkutan itu menurut hukum atau secara yuridis dapat didefenisikan sebagai suatu perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak yang diangkut atau pemilik barang atau pengirim,dengan memungut biaya pengangkutan.
Klasifikasi Transportasi atau Angkutan
Transportasi atau pengangkutan dapat dikelompokan menurut macam atau moda atau jenisnya (modes of transportation) yang dapat ditinjau dari segi barang yang diangkut, dari segi geografis transportasi itu berlangsung, dari sudut teknis serta dari sudut alat angkutannya. Secara rinci klasifakasi transportasi sebagai berikut :
1)      Dari segi barang yang diangkut, transportasi meliputi:
a)      angkutan penumpang (passanger);
b)      angkutan barang (goods);
c)      angkutan pos (mail).
2)      Dari sudut geografis. Ditinjau dari sudut geografis, transportasi dapat dibagi menjadi;
a)      Angkutan antar benua: misalnya dari Asia ke Eropah;
b)      Angkutan antar kontinental: misalnya dari Francis ke Swiss dan diseterusnya sampai ke Timur Tengah;
c)      Angkutan antar pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;
d)     Angkutan antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung;
e)      Angkutan antar daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur;
f)       Angkutan di dalam kota: misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain.
3)      Dari sudut teknis dan alat pengangkutnya, Jika dilihat dari sudut teknis dan alatangkutnya, maka transportasi dapat dibedakan sebagai berikut:
a)       Angkutan jalan raya atau highway transportation(road transportation),seperti pengangkutan dengan menggunakan truk,bus dan sedan;
b)       Pengangkutan rel (rail transportation), yaitu angkutan kereta api, trem listrik dan sebagainya. Pengangkutan jalan raya dan pengangkutan rel kadang-kadang keduanyadigabung dalam golongan yang disebut rail and road transportation atau landtransportation (angkutan darat);
c)       Pengangkutan melalui air di pedalaman (inland transportation), seperti pengangkutan sungai, kanal, danau dan sebagainya;
d) Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seperti transportasi untuk mengangkutatau mengalirkan minyak tanah, bensin dan air minum;
e) Pengangkutan laut atau samudera (ocean transportation), yaitu angkutan denganmenggunakan kapal laut yang mengarungi samudera;
f)  Pengangkutan udara (transportation by air atau air transportation), yaitupengangkutan dengan menggunakan kapal terbang yang melalui jalan udara.
Fungsi dan Kegunaan Pengangkutan atau transportasi
Menurut Sri Redjeki Hartono pengangkutan dilakukan karena nilai barang akan lebih tinggi di tempat tujuan daripada di tempat asalnya, karena itu dikatakan pengangkutanmemberi nilai kepada barang yang diangkut dan nilai ini lebih besar daripada biaya-biayayang dikeluarkan. Nilai yang diberikan adalah berupa nilai tempat (place utility)dan nilaiwaktu (time utility).Nilai tempat (place utility)mengandung pengertian bahwa dengan adanya pengangkutan berarti terjadi perpindahan barang dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang berguna atau bermanfaat di tempat asal, akan tetapi setelah adanyapengangkutan nilai barang tersebut bertambah, bermanfaat dan memiliki nilai guna bagi manusia, oleh karena itu apabila dilihat dari kegunaan dan manfaatnya bagi manusia, makabarang tadi sudah berambah nilainya karena ada pengangkutan. Nilai Kegunaan Waktu (time utility), dengan adanya pengangkutan berarti bahwa dapat dimungkinkan terjadinyasuatu perpindahan barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dimana barang tersebut lebih diperlukan tepat pada waktunya.
Sementara itu menurut Rustian Kamaludin pada dasarnya, pengangkutan atautransportasi atau perpindahan penumpang atau barang dengan transportasi adalah denganmaksud untuk dapat mencapai tempat tujuan dan menciptakan atau menaikkan utilitas atau kegunaan dari barang yang diangkut, yaitu utilitas karena tempat dan utilitas karena waktu.
Selanjutnya dinyatakan bahwa peran penting dari transportasi dikaitkan dengan aspekekonomi dan sosial-ekonomi bagi masyarakat dan negara, yaitu sebagi berikut:
1.      Berperan dalam hal ketersediaan barang (availability of goods);
2.      Stabilisasi dan penyamaan harga (stabilization and equalization);
3.      Penurunan harga ( price reduction);
4.      Meningkatkan nilai tanah (land value);
5.      Terjadinya spesialisasi antar wilayah(territorial division of labour);
6.      Berkembangnya usaha skala besar(large scale production);
7.      Terjadinya urbanisasi dan konsentrasi penduduk(urbanization and population concentration) dalam kehidupan.
Menurut Abdulkadir Muhammad, pengangkutan memiliki nilai yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal tersebut didasari oleh berbagai faktor, yaitu antara lain:
a)      Keadaan geografis Indonesia yang berupa daratan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, dan berupa perairan yang terdiri dari sebagian besar laut dan sungai serta danau memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udaraguna menjangkau seluruh wilayah negara;
b)      Menunjang pembangunan di berbagai sektor
c)      Mendekatkan jarak antara desa dan kota
d)     Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Asas-Asas Hukum Pengangkutan
Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut: “…bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum danabstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sufatsifatatau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut”.
Sejalan dengan pendapat Mertokusumo tersebut, Rahardjo berpendapat bahwa asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpamengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya, asas-asas hukum memberi makna etiskepada setiap peraturan-peraturan hukum serta tata hukum selanjutnya dipaparkan bahwaasas hukum ia ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merpakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berartibahwa penerapan peraturan-peraturan hukum itu dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum.
Kedua ,karena asas hukum mengandung tuntunan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.
Di dalam hukum pengangkutan juga terdapat asas-asas hukum, yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu bersifat publik dan bersifat perdata, asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang berlaku dan berguna bagi semua pihak, yaitu pihak-pihakdalam pengangkutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah.
Asas-asas Hukum Pengangkutan Bersifat Publik
Ada beberapa asas hukum pengangkutan yang bersifat publik, yaitu sebagai berikut:
a. Asas manfaat yaitu, bahwa penerbangan harus dapat memberikan manfaat sebesar-besarnyabagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembanganperikehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, serta upaya peningkatanpertahanan dan keamanan negara;
b.  Asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai olehsemangat kekeluargaan;
c.  Asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
d.  Asas keseimbangan yaitu, bahwa penerbangan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antarakepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat,serta antara kepentingan nasional dan internasional;
e. Asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas;
f.  Asas keterpaduan yaitu, bahwa penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat danutuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar modal transportasi;
g. Asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada pemerintah untuk menegakkandan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan penerbangan;
h. Asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa penerbangan harus berlandaskan padakepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepadakepribadian bangsa.
i. Asas keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap penyelenggaraan pengangkutanpenumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan.

Asas Hukum Pengangkutan Bersifat Perdata
Dalam kegiatan pengangkutan terdapat hubungan hukum antara pihak pengangkut dan penumpang, hubungan hukum tersebut harus di dasarkan pada asas-asas hukum . Asas-asashukum pengangkutan bersifat perdata terdiri dari :
a.  Asas konsensual yaitu, perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuktertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudaha ada harus dibuktikan dengan atau didukungdengan dokumen pengangkutan;
b.  Asas Koordinatif yaitu, pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain. Meskipunpengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang atau pengirim barang, pengangkut bukan bawahan penumpang atau pengirim barang. Pengangkut merupakan salah satu bentuk pemberian kuasa.
c. Asas campuran yaitu, pengangkutan merupakan campuran dari 3 (tiga) jenis perjanjianyakni, pemberian kuasa, peyimpanan barang dan melakukan pekerjaan dari pengirimkepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan,kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
d.  Asas pembuktian dengan dokumen yaitu, setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan, tidak ada dokumen pengangkutan berarti tidak ada perjanjianpengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku umum, misalnya pengangkutanuntuk jarak dekat biasanya tidak ada dokumen atau tiket penumpang, contohnya angkutan dalam kota.
Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Dalam hukum pengangkut terdapat tiga prinsip atau ajaran dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, yaitu sebagai berikut :
1.  Prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (the based on fault atau liability based onfault principle);
2. Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liabilityprinciple);
3. Prinsip tanggungjawab mutlak (no fault, atau strict liability, absolute liabilityprinciple).
Dalam hukum positif Indonesia, prinsip ini dapat menggunakan pasal 1365 BW, yang sangat terkenal dengan pasal perbuatan melawan hukum (onrecht matigedaad). Menurut konsepsi pasal ini mengharuskan pemenuhan unsur-unsur untuk menjadikan suatu perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti rugi,yaitu antara lain:
1.      adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat;
2.      perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya;
3.      adanya kerugian yang diderita akibat kesalahan tersebut.
Sumber Hukum Pengangkutan
Hukum pengangkutan merupakan bagian dari hukum dagang yang termasuk dalam bidang hukum perdata. Dilihat dari segi susunan hukum normatif, hukum perdata merupakan sub sistem tata hukum nasional. Jadi hukum dagang atau perusahaan termasuk dalam subsistem tata hukum nasional. Dengan demikian, hukum pengangkutan adalah bagian dari subsistem hukum nasional. Pengaturan pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi pengaturan pengangkutan dibuat secara khusus menurut jenis-jenis pengangkutan. Jadi, tiap-tiap jenis pengangkutan diatur di dalam peraturan tersendiri, sedangkan jenis-jenis pengangkutan yang ada sekarang ini ada beberapa macam, yaitu pengangkutan darat, pengangkutan laut, dan pengangkutan udara.
Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam Kitab Undang-UndangHukum Dagang dapat ditemukan di dalam beberapa pasal, yaitu sebagai berikut:
a)  Buku 1 Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 98 TentangPengangkutan darat Dan Pengangkutan Perairan Darat;
b)  Buku II Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465 Tentang Pencarteran Kapal, Buku IIBab V A Pasal 466 sampai dengan Pasal 520 Tentang Pengangkutan Barang, dan Buku IIBab V B Pasal 521 sampai Pasal 544a Tentang Pengangkutan Orang;
c)  Buku I Bab V Bagian II Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 mengenai Kedudukan ParaEkspeditur sebagai Pengusaha Perantara;
d)  Buku I Bab XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754 mengenai Kapal-Kapal yang melaluiperairan darat.
Sedangkan ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan di luar KUH Dagang terdapat dalam sumber-sumber khusus, yaitu antara lain 54:
a)      Konvensi-konvensi internasional;
b)      Perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral;
c)      Peraturan perundang-undangan nasional;
d)     Yurisprudensi;
e)      Perjanjian-perjanjian antara:
1.      Pemerintah-Perusahaan Angkutan
2.      Perusahaan Angkutan- Perusahaan Angkutan
3.      Perusahaan Angkutan- pribadi/swasta
Sedangkan peraturan-peraturan khusus untuk tiap-tiap jenis pengangkutan tersebut,yaitu diatur di dalam:
A.    Pengangkutan Darat, diatur di dalam:
1.      Pasal 91 sampai dengan Pasal 98 tentang surat angkutan dan tentang pengangkut danjuragan perahu melalui sungai dan perairan darat
2.      Ketentuan di luar KUH Dagang/ KUH Perdata, terdapat di dalam:
a)      Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 Tentang Pos
b)      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian
c)  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalansebagaimana telah dirubah dengan UU No. 9 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
B.     Pengangkutan Laut, diatur di dalam:
1. KUH Dagang yaitu pada:
a)      Buku II Bab V Tentang perjanjian carter kapal
b)      Buku II Bab VA Tentang Tentang Pengangkutan barang-barang
c)      Buku II Bab V B Tentang Pengangkutan Orang.
2. Ketentuan lainnya dapat ditemukan pada:
a)      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 Tentang Pelayaran
b)      Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan
c)      Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 Tentang kepelabuhan
d)   Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 Tentang  Penyelenggaraan dan Penguasaan Angkutan Laut.
C.     Pengangkutan udara; ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang angkutan udara, antara lain:
a)      Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
a)      Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (luchtervoerordonanntie) tentang tanggung jawab pengangkut udara
b)      Peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara.
Selain hukum positif nasional yang mengatur mengenai angkutan udara juga terdapat beberapa ketentuan-ketentuan internasional.

Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat ineternasional,(Konvensi-konvensi internasional dalam bidang angkutan udara) yaitu sebagai berikut:
a)      Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929.
Konversi Warsawa ini nama lengkapnya adalah “Convention for The Unification ofThe Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air”, ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa dan berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933.
b)      Konvensi Geneva.
Konvensi Geneva ini mengatur tentang “International Recognition of Right inAircraft”. Dalam Konvensi Geneva Indonesia tidak turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hukum konvensi ini penting sekali adanya, karena baik “mortage” (dalam hukum Anglosaxon) maupun “hipotik” (dalam hukum Kontinental) atas pesawat udara dan peralatannya dapatdiakui secara internasional oleh negara-negara pesertanya.
c)      Konvensi Roma 1952
Nama lengkap dari Konvensi ini adalah “Convention on Damage Caused by ForeignAircraft to Third Parties on the Surface”, ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober 1952 dan merupakan pengganti dari konvensi Roma sebelumnya (tahun 1933). Konvensi Roma tahun 1952 ini mengatur masalah tanggungjawab operator pesawat terbang asing terhadap pihak ketiga di darat yang menderita kerugian yang ditimbulkan oleh operatorpesawat terbang asing tersebut. Peserta Konvensi Roma tahun 1952 tersebut pesertanya tidak begitu banyak, dan Indonesia pun tidak ikut serta di dalamnya.
d)     Protokol Hague 1955
Nama lengkap dari protokol Hague adalah Protokol to Amend the Convention for theUnification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air, Signet at Warsaw 12Oktober 1929. Tetapi lazimnya disebut sebagai Hague Protocol 1955.
e)      Konvensi Guadalajara 1961
Nama lengkap daripada Konvensi Guadalajara 1961 adalah “ConventionSupplementary to The Warsaw Convention for the Unification of Certain Rules Relating toInternational Carriage by Air Performed by a person other than the Contracting Carrier. Konvensi Guadalajara ditandatangani pada tanggal 18 September 1961 dan muali berlakusejak tanggal 2 Mei 1964 setelah diratifikasi oleh 5 negara pesertanya.

f)       Protokol Guatemala
Protokol Guatemala yang ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1971 memuat perubahan-perubahan penting atas beberapa ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan Protocol Hague, terutama dalam hal prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi.
Sejarah Angkutan Umum
I.1. Era Omni Bus
Shillibeer di kota London pada 1829. Omni Bus adalah kendaraan mirip gerbong beroda besar dengan pintu masuk di belakang. Jumlah kursinya 18 hingga 20 yang ditata sejajar dan berhadap-hadapan. Model Omni Bus ini kemudian menyebar ke kota besar lain, seperti New York dan Paris pada tahun 1830-an. Pada tahun yang sama, George Stephenson meluncurkan kereta api uap yang pertama di Inggris dengan rute Liverpool – Manchester. Perkembangan omni bus berikutnya adalah omni bus susun (double decker).Omni bus inilah embrio pertama lahirnya bus bermotor seperti yang dikenal sekarang.
I.2. Era Jalan Rel (1830 – 1920)
Era jalan rel dimulai pada saat jalan tanah yang ada dirasakan mulai cepat rusak dan memperlambat aksesibilitas kereta kuda, sehingga muncul pemikiran untuk membuat jalan khusus di atas tanah yang mulanya dibuat dari kayu. Namun karena bahan kayu juga cepat rusak, maka digantikan dengan besi/rel. Kereta yang berjalan di atas rel masih tetap ditarik dengan kuda, sehingga dikenal dengan nama Horse Train Street Cars,yang diperkenalkan di New York pada 1832. Karena pada saat itu loko uap dilarang masuk area kota, maka angkutan ini cepat populer di dalam kota, bahkan di Inggris (1860). Keunggulan tram ini adalah lebih nyaman, lebih besar dan dapat mengangkut penumpang dengan jumlah banyak. Kecepatan rata-ratanya 7 km/jam. Era ini juga telah mengenal sistem pengelolaan oleh pihak-pihak swasta dalam bentuk perusahaan dan mulai terdapat persaingan ketat, khususnya pada persinggungan rute yang sama. Era berikutnya adalah kereta kabel (cable cars),yakni dengan adanya kabel di tengah rel yang ditarik dengan mesin uap, yang mulai diperkenalkan di San Fransisco pada tahun 1873. Kereta ini berkapasitas lebih besar, bahkan dapat menarik 3 (tiga) kereta dalam satu rangkaian. Biaya operasi juga rendah, meskipun investasi awalnya lebih mahal. Pada tahun 1850 juga telah dikenal dengan adanya rapid transitdengan jalur terpisah dari jalan, bahkan tidak sebidang. Inggris pada tahun 1863 juga mulai membuka jalur Metropolitan Railway, yakni jalur kereta bawah tanah dengan tenaga uap, dengan jalur Farringdon Street ke Bishop, Paddington. Lima tahun kemudian (1868) Amerika Serikat membuat jaringan kereta uap yang melayang (elevated)di New York. Kereta rel (tram) listrik pertama hadir di Chicago pada tahun 1883 dan di Toronto pada tahun 1885. Energi listrik diambilkan dari tiang yang menempel di bawah kabel yang digantung di sepanjang rel. Kecepatan rata-rata mencapai 16 km/jam. Pada 1888 kereta listrik telah dibuat dengan sistem Multiple Unit Train Controlatau Kontrol Unit Berganda. Sepuluh tahun berikutnya, kereta listrik mulai dibuat di bawah tanah di Boston (AS) dan New York (1904). Kelebihan kereta listrik adalah pada sifatnya yang tidak polutif, jaringan yang lebih luas serta cocok untuk kondisi kota yang kongestif.
I.3. Era Bus dan Trolley Bus (1920 – sekarang)
Era bus dan bus troli kembali hadir pada 1920. Banyak pertanyaan muncul, ketika era kereta telah sedemikian hebat, mengapa bus kembali populer pada awal abad 20? Hal ini disebabkan adanya Perang Dunia I, di mana banyak sarana rel yang dialokasikan untuk kebutuhan peperangan, krisis finansial akibat perang, serta boomingmobil pribadi, sehingga angkutan massa dengan rel (yang membutuhkan investasi dan pemeliharaan mahal) menjadi terpuruk. Angkutan dengan bus kemudian hadir karena dirasa lebih efisien dengan biaya investasi yang relatif murah.48 Pada awalnya muncul bus bermotor di New York pada 1905, lalu berlanjut dengan adanya sistem feeder bus ke tram (1912). Tahun berikutnya (1920) hadir armada bus dengan posisi mesin di depan dan dengan pintu yang dapat diatur oleh pengemudi. Hingga tahun 30-an, bus berkembang sangat pesat. Bahkan di tahun 1939, tipikal bus telah berkembang menjadi lebih kuat, efiien, bermesin diesel, hingga persneling otomatis. Perkembangan berikutnya adalah bus tingkat (double decker) dengan konfigurasi mirip bus tidak bertingkat. Model yang cukup populer pada masa itu (1958) adalah Leyland Atlantean. Inovasi lain adalah trolley bus,yakni kombinasi antara bus dan tram. Disebut trolley karena bus dilengkapi dengan 2 (dua) tiang untuk mengambil listrik dari kabel yang tergantung di atas.
BAB II
PENGANGKUTAN DALAM PERANAANNYA DI BIDANG EKONOMI

Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Pengangkutan

Wihoho Soedjono menjelaskan bahwa di dalam pengangkutan di laut terutama mengenai pengangkutan di laut terutama mengenai pengangkutan barang, maka perlu diperhatikan adanya tiga unsur yaitu pihak pengirim barang, pihak penerima barang dan barangnya itu sendiri.

Menurut H.M.N Purwosutjipto, pihak-pihak dalam pengangkutan yaitu pengangkut dan pengirim Pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Lawan dari pihak pengangkut ialah pengirim yaitu pihak yang mengikatkan dari untuk membayar uang angkutan, dimaksudkan juga ia memberikan muatan. Menurut Abdulkadir Muhammad, subjek hukum pengangkutan adalah ”pendukung kewajiban dan hak dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan”. Mereka itu adalah pengangkut, pengirim, penumpang, penerima, ekspeditur, agen perjalanan, pengusaha muat bongkar, dan pengusaha pergudangan. Subjek hukum pengangkutan dapat berstatus badan hukum, persekutuan bukan badan hukum, dan perseorangan.
a. Pengangkut (Carrier)
Dalam perjanjian pengangkutan barang, pihak pengangkut yakni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan, barang dan berhak atas penerimaan pembayaran tarif angkutan sesuai yang telah diperjanjikan. Dalam perjanjian pengangkutan penumpang, pihak pengangkut yakni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan penumpang dan berhak atas penerimaan pembayaran tarif (ongkos) angkutan sesuai yang telah ditetapkan.
 b. Pengirim ( Consigner, Shipper)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia tidak mengatur definisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan barang dari pengangkut. Dalam bahasa Inggris, pengirim disebut consigner, khusus pada pengangkutan perairan pengangkut disebut shipper.
c. Penumpang (Passanger)
Penumpang adalah pihak yang berhak mendapatkan pelayanan jasa angkutan penumpang dan berkewajiban untuk membayar tarif (ongkos) angkutan sesuai yang ditetapkan.59 Menurut perjanjian pengangkutan, penumpang mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan sebagai objek karena dia adalah muatan yang diangkut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak-anak dapat membuat perjanjian pengangkutan menurut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan kebiasaan, anak-anak mengadakan perjanjian pengangkutan itu sudah mendapat restu dari pihak orang tua tau walinya. Berdasarkan kebiasaan itu juga pihak pegangkut sudah memaklumi hal tersebut. Jadi yang bertanggung jawab adalah orang tua atau wali yang mewakili anak-anak itu. Hal ini bukan menyimpangi undang-undang, bahkan sesuai dengan undang-undang dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
d. Penerima (Consignee)
Pihak penerima barang yakni sama dengan pihak pengirim dalam hal pihak pengirim dan penerima adalah merupakan subjek yang berbeda. Namun adakalanya pihak pengirim barang juga adalah sebagai pihak yang menerima barang yang diangkut di tempat tujuan. Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal penerima adalah pengirim, maka penerima adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan atas barang kiriman, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum pengangkutan. Adapun kriteria penerima menrut perjanjian, yaitu :
1.      perusahaan atau perorangan yang memperoleh hak dari pengirim barang;
2.      dibuktikan dengan penguasaan dokumen pengangkutan;
3.      membayar atau tanpa membayar biaya pengangkutan.
e. Ekspeditur
Ekspeditur dijumpai dalam perjanjian pengangkutan barang, dalam bahasa Inggris disebut cargo forwarder. Ekspeditur digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengirim atau pengangkut atau penerima barang. Ekspeditur berfungsi sebagai perantara dalam perjanjian pengangkutan yang bertindak atas nama pengirim. Pengusaha transport seperti ekspeditur bekerja dalam lapangan pengangkutan barang-barang namun dalam hal ini ia sendirilah yang bertindak sebagai pihak pengangkut. Hal ini nampak sekali dalam perincian tentang besarnya biaya angkutan yang ditetapkan. Seorang ekspeditur memperhitungkan atas biaya muatan (vrachtloon) dari pihak pengangkut jumlah biaya dan provisi sebagai upah untuk pihaknya sendiri, yang tidak dilakukan oleh pengusaha transport. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui kriteria ekspeditur menurut ketentuan undang-undang, yaitu:
1.      perusahaan pengantara pencari pengangkut barang;
2.      bertindak untuk dan atas nama pengirim; dan
3.      menerima provisi dari pengirim.
f. Agen Perjalanan ( Travel Agent)
Agen perjalanan (travel agent) dikenal dalam perjanjian pengangkutan penumpang. Agen perjalanan digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengangkut, yaitu perusahaan pengangkutan penumpang. Agen perjalanan berfungsi sebagai agen (wakil) dalam perjanjian keagenan (agency agreement) yang bertindak untuk dan atas nama pengangkut. Agen perjalanan adalah perusahaan yang kegiatan usahanya mencarikan penumpang bagi perusahaan pengangkutan kereta api, kendaraan umum, kapal, atau pesawat udara.Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan kriteria agen perjalanan menurut undang-undang, yaitu :
1.      pihak dalam perjanjian keagenan perjalanan;
2.      bertindak untuk dan atas nama pengangkut;
3.      menerima provisi (imbalan jasa) dari pengangkut; dan
4.      menjamin penumpang tiba di tempat tujuan dengan selamat.
 g. Pengusaha Muat Bongkar (Stevedoring)
Untuk mendukung kelancaran kegiatan angkutan barang dari dan ke suatu pelabuhan, maka kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal mempunyai kedudukan yang penting. Di samping itu keselamatan dan keamanan barang yang dibongkar muat dari dan ke pelabuhan sangat erat kaitannya dengan kegiatan bongkar muat tersebut. Menurut Pasal 1 butir 16 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 pengusaha muat bongkar adalah ”kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar muat barang dan/atau hewan dari dan ke kapal”. Perusahaan ini memiliki tenaga ahli yang pandai menempatkan barang di dalam ruang kapal yang terbatas itu sesuai dengan sifat barang, ventilasi yang diperlukan, dan tidak mudah bergerak/bergeser. Demikian juga ketika membongkar barang dari kapal diperlukan keahlian sehingga barang yang dapat dibongkar dengan mudah, efisien, dan tidak menimbulkan kerusakan.
Menurut Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 untuk memperoleh izin usaha bongkar muat, wajib memenuhi persyaratan :
1.      memiliki modal dan peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi;
2.      memiliki tenaga ahli yang sesuai;
3.      memiliki akte pendirian perusahaan;
4.      memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
5.      memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
h. Pengusaha Pergudangan (Warehousing)
Menurut Pasal 1 alinea kedua Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1969, pengusaha pergudangan adalah ”perusahaan yang bergerak di bidang jenis jasa penyimpanan barang di dalam gudang pelabuhan selama barang yang bersangkutan menunggu pemuatan ke dalam kapal atau penunggu pemuatan ke dalam kapal atau menunggu pengeluarannya dari gudang pelabuhan yang berada di bawah pengawasan Dinas Bea dan Cukai”.
Objek Hukum Pengangkutan
Yang diartikan dengan ”objek” adalah segala sasaran yang digunakan untuk mencapai tujuan. Sasaran tersebut pada pokoknya meliputi barang muatan, alat pengangkut, dan biaya angkutan. Jadi objek hukum pegangkutan adalah barang muatan, alat pengangkut, dan biaya yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum pengangkutan niaga, yaitu terpenuhinya kewajiban dan hak pihak-pihak secara benar, adil, dan bermanfaat.
a. Barang Muatan (Cargo)
Barang muatan yang dimaksud adalah barang yang sah dan dilindungi oleh Undang-Undang. Dalam pengertian barang yang sah termasuk juga hewan. Secara fisik barang muatan dibedakan menjadi 6 golongan, yaitu :
1)      barang berbahaya (bahan-bahan peledak);
2)      barang tidak berbahaya;
3)      barang cair (minuman);
4)      barang berharga;
5)      barang curah (beras, semen,minyak mentah); dan
6)      barang khusus.
Secara alami barang muatan dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :75
1)      barang padat
2)      barang cair
3)      barang gas
4)      barang rongga (barang-barang elektronik)
Dari jenisnya, barang muatan dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu :
1)      general cargo, adalah jenis barang yang dimuat dengan cara membungkus dan mengepaknya dalam bentuk unit-unit kecil.
2)      bulk cargo, adalah jenis barang yang dimuat dengan cara mencurahkannya ke dalam kapal atau tanki.
3)      homogeneous cargo, adalah barang dalam jumlah besar yang dimuat dengan cara membungkus dan mengepaknya.
b. Alat pengangkut ( Carrier)
Pengangkut adalah pengusaha yang menjalankan perusahaan pengangkutan, memiliki alat pengangkut sendiri, atau menggunakan alat pengangkut milik orang lain dengan perjanjian sewa. Alat pengangkut di atas atas rel disebut kereta api yang dijalankan oleh masinis. Alat pengangkut di darat disebut kendaraan bermotor yang dijalankan oleh supir. Alat pengangkut di perairan disebut kapal yang dijalankan oleh nahkoda. Sedangkan alat pengangkut di udara disebut pesawat udara yang dijalankan oleh pilot. Masinis, supir, nahkoda, dan pilot bukan pengangkut, melainkan karyawan perusahaan pengangkutan berdasarkan perjanjian kerja yang bertindak untuk kepentingan dan atas nama pengangkut.
c. Biaya pengangkutan (Charge/Expense)
Pemerintah menerapkan tarif yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan masyarakat luas. Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif tersebut, perusahaan umum, kereta api, perusahaan angkutan umum, perusahaan laut niaga, dan perusahaan udara niaga menetapkan tarif berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usaha badan penyelenggara dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan serta perluasan jaringan angkutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi cost of servicesatau ongkos menghasilkan jasa yaitu:
1. jarak yang harus ditempuh dari tempat asal ke tempat tujuannya;
2. volume dan berat daripada muatan barang yang diangkut;
3. resiko dan bahaya dalam pengangkutan, berhubung karena sifat barang yang diangkut, sehingga diperlukan alat-alat serviceyang spesial; dan
4. ongkos-onkos khusus yang harus dikeluarkan berhubung karena berat dan ukuran barang yang diangkut yang ”luar biasa” sifatnya.
Pengangkutan dan Peranannya dalam Perekonomian
Pemerintah pada umumnya memandang bahwa bidang transportasi adalah sangat vital untuk kepentingan negara baik dari sudut perekonomian maupun dari sudut-sudut sosial, politik, pemerintahan, pertahanan-keamanan dan sebagainya. Karena itu pemerintah berpendapat bahwa bidang transportasi ini perlu mendapat perhatian dan bantuan, bahkan sering kali pula berpandangan bahwa bagian-bagian yang terpenting di bidang transportasi ini perlu diusahakan oleh pemerintah. Pada waktu yang telah diselenggarakan oleh pemerintah kita melalui badan usaha mlik negara adalah pengangkutan kereta api, pengangkutan udara, pelayaran antar pulau di samping bidang-bidang komunikasi lainnya. Ada banyak pula usaha di bidang transportasi ini yang dimiliki, diselenggarakan, dan diusahakan oleh pihak swasta. Seperti diketahui, tujuan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia dengan menciptakan manfaat. Pengangkutan adalah satu jenis kegiatan yang menyangkut peningkatan kebutuhan manusia dengan mengubah letak geografi orang maupun barang. Dengan angkutan bahan baku dibawa menuju tempat produksi dan dengan angkutan jugalah hasil produksi dibawa ke pasar. Selain itu, dengan angkutan pula para konsumen datang ke pasar atau tempat pelayanan kebutuhannya seperti ke pasar, rumah sakit, pusat rekreasi, dll.
Ada tiga faktor ekonomis alasan kenapa pemerintah memiliki dan mengusahakan sendiri upaya transpor ini, yaitu :
1.  kurangnya kapital yang dimiliki oleh pihak swasta, sehingga tidak mampu bergerak dibidang usaha pengangkutan tertentu.
2.  adanya pemilihan usaha pada rute-rute tertentu oleh pihak swasta yang secara ekonomis menguntungkan sehingga akan menuju kepada kapasitas yang berlebihan di daerah tertentu.
3.  karena kepemilikan secara swasta menyebabkan terpecah dan tersebarnya penyediaan jasa angkutan secara tidak terkoordinir sehingga tidak terdapat efisiensi dan keterpaduan dalam pelayanannya bagi masyarakat.
Hubungan antara pembangunan ekonomi dengan jasa pengangkutan adalah sangat erat sekali dan saling tergantung satu sama lainnya. Oleh karena itu untuk membangun perekonomian sendiri perlu didukung dengan perbaikan dalam bidang transpor atau pengangkutan ini. Perbaikan dalam transportasi ini pada umumnya berarti akan dapat menghasilkan terciptanya penurunan ongkos pengiriman barang-barang, terdapatnya pengangkutan barang-barang dengan kecepatan lebih besar dan perbaikan dalam kualitas atau sifat daripada jasa-jasa pengangkutan tersebut sendiri. Dalam proses pertumbuhan ekonomi,kebutuhan pengangkutan terus meningkat, yang secara umum dapat dilihat dari tiga faktor berikut ini :
1.  bila terjadi peningkatan produksi, maka semakin besarlah volume bahan yang diangkut untuk memenuhi bahan baku produksi dan semakin besar pula hasil produksi diangkut ke konsumen;
2.  peningkatan volume mungkin sekali mengandung arti perluasan wilayah sumber bahan baku dan wilayah pemasaran;
3.  peningkatan jumlah barang yang dijual akan melipatgandakan pertumbuhan kekhususan, dan peningkatan pendapatan akan menambah keragaman barang yang diminta. Dengan kata lain, peningkatan kegiatan ekonomi mengikutsertakan peningkatan mobilitas. Di pihak lain, pendapatan nasional bergantung pada kemampuan pengangkutan yang memadai, dan peningkatan kegiatan ekonomi membutuhkan sarana gerak atau angkutan.
Aspek-aspek yang terkait dengan pengangkutan
1.      Pelaku, Yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Dapat berupa Badan Usaha/spt perusahaan pengangkutan/ dapat, berupa manusia pribadi, seperti buruh pengangkutan di pelabuhan.
2.      Alat Pengangkutan, Alat yang digunakan untuk pengangkutan/Alat ini digerakkan secara mekanik dan memenuhi syarat undang-undang/seperti kendaraan bermotor, kapal laut/dan darat.
3.      Barang/Penumpang, Yaitu muatan yang diangkut. Barang perdagangan yang sah menurut undang-undang. Dlam pengertian barang termasuk juga hewan.
4.      Perbuatan, Yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan sampai dengan penurunan di tempat tujuan yang ditentukan.
5.      Fungsipengangkutan, Meningkatkan kegunaan, dan nilai barang atau penumpang
6.      Tujuan pengangkutan, Yaitu sampai ditempat tujuan yang ditentukan dengan selamat, biaya pengangkutan lunas.                      
Perjanjian Pengangkutan
Perikatan menurut J. Satrio adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua pihak, dimana pihak yang satu ada hak dan pihak yang lain ada kewajiban.
Saat terjadinya   perjanjian antara para pihak, ada beberapa teori yaitu :
1.      Teori kehendak (wilstheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi   pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
2.      Teori pengiriman (verzentheorie)
Bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima penawaran.
3.      Teori Pengetahuan(Vernemingtlieone)                 
Bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
4.      Teori Kepercayaan (vertrournenttheorie)           
Bahwa kesepakat itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Definisi Perjanjian Pengangkutan
1.      Soemarti Hartono   
Perjanian pengangkutan adalah suatu peijanjian dimana satu pjhak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu ke lain tempat, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar ongkos.
2.      Abdul Kadir Muhammad                 '
Perjanjian Pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut menyediakan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau atau penumpang dari satu tempat ketempat tujuan dengan sejamat, dan pengirim atau penumpang mengikatkan diriuntuk membayar biaya pengangkutan
Asas-asas Perjanjian Pengangkutan
1.      Asas konsensual
Asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian pengangkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak
2.      Asas koodinasi
Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak   dalam perjanjian pengangkutan. Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan "pelayanan jasa", asas subordinasi antara buruh dan majikan   pada perjanjian perburuhan    tidak berlaku pada  peranjian pengangkutan.
3.      Asas Campuran
Perjanjian Pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian         yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpanan barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan. Dengan demikian, ketentuan dari 3 jenis perjanjian itu berlaku jika dalam perjanjian Pengangkutan, kecuali jika perjanjian pengangkutan mengatur lain.
4.      Asas tidak ada hak retensi    
Penggunaan hak retensi dalam peijanjian pengangkutan tidak dibenarkan.   Penggunaan hak retensi itu bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, kebiasaan yang hidup dalam praktik pengangkutan adalah kebiasaan yang berderajat hukum keperdataan yaitu berupa perilaku atau perbuatan yang meemnuhi ciri-ciri:
1.      Tidak tertuIis yang hidup dalam praktik pengangkutan
2.      Berisi kewajjban bagaimana seharusnya pihak-pihak berbuat
3.      Tidak bertentangan dengan UU atau kepatutan
4.      Diterima oleh pihak2 karena adil dan masuk akal/logis
5.      menuju kepada akibat hukum yang dikehendaki pihak-pihak
Cara terjadinya perjanjian pengangkutan ada dua:
1.      Penawaran dari pihak pengangkut.
Cara tejadinya perjanjian Pengangkutan dapat secara langsung dari pihak-pihak, atau tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara (ekspedisi, biro perjalanan). Apabila pembuatan perjanjian Pengangkutan dilakukan secara langsung, maka penawaran pihak pengangkutan dilakukan dengan menghubungi langsung pihak pengirim atau penumpang, atau melalui media masa. ini berarti pengangkut mencari sendiri muatan atau penumpang untuk diangkut. Jika penawaran pihak pengangkut dilakukan melalui media masa, pengangkut hanya menunggu permintaan dari pengirim atau penumpang.
2.      Penawam dari pihak pengirim, penumpang
Apabila pembuatan perjanjian Pengangkutan  dilakukan secra lansung,  maka  penawaran  pihak pengirim  atau penumpang diiakukan dengan menghubungi langsung pihak pengangkut.Ini berarti pengirim atau penumpang mencari sendiri pengangkut untuknya. Hal ini terjadi setelah pengirim atau penumpang   mendengar atau membaca pengumuman dari pengangkut. Jika penawaran melalui perantara (ekspedisi, biro peijalanan), maka Perantara, menghubungi pengangkut atas nama pengirim atau penumpang, pengirim menyerahkan barang pada  perantara (ekspeditur) untuk   djangkut. Penumpang  pada biro perjalanan yang menyiapkan pemberangkatannya.
Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan
Untuk mengetahui berakhirnya pemajian pengangkutan perlu dibedakan dua keadaan yaitu:
1.      Dalam keadaan tidak  terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah saat penyerahan dan pembayaran biaya pengangkuan ditempat tujuan yang disepakati.
à siapa yang bertanggung jawab dan berapa besar
2.      Dalam keadaan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah pemberesan kewajiban membayar ganti kerugian.
Sifat Hukum Perjanjian Pengangkutan
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak, yaitu pengangkut dan pengirim sama tinggi, tidak seperti dalam perjanjian perburuhan,  dimana para pihak tidak sama tinggi yakni, majikan mempunyai kedudukan lebih tinggi dari si buruh.
Pasal  1601 KUH  Perdata menentukan, selain  persetujuan-persetujuan untuk melakukaan sementara jasa-jasa yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada oleh kebiasaan, maka adalah dua macam persetujuan dengan mana pihak yang satu    mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima persetujuan perburuhan dan pemborongan pekerjaan.   
Berdasarkan hal di atas, ada beberapa pendapat mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan, yaitu :
1.      Pelayanan   berkala
Dalam meiaksanakan   perjanjian itu, hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut tidak terus-menerus, tetapi hanya kadangkala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk pengiriman barang. Hubungan semacam ini disebut pelayanan berkala, sebab pelayanan itu  tidak bersifat tetap, hanya kadangkala saja, bila pengirim membutuhkan pengangkutan
2.      Pemborongan
Seperti yang ditentukan dalam Pasal 1601 (b) KUH Perdata   yang menentukan, Pemborongan pekerjaan adalah persetujuan, dengan mana pihak yang satu sipemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu persetujuan   bagi pihak yang lain, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
3.      Campuran
Pada pengangkutan ada unsur melakuka pekerjaan (pelayanan berkala) dan unsur penyimpanan, karena pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan dan menyimpan barang-barang yang diserahkan kepadanya untuk diangkut (Pasal 466, 468 ayat (1) KUHD).
Pihak-pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan
Purwosutjipto ada dua yaitu:
1.      Pengangkut adalah pihak yang yang mengikatkantdiri untuk menyeJenggarakan pengangkutan barang dan atau  penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. (lihat Pasal 91 KU.HD)
2.      Pengirim, adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Pengirim dalam bahasa Inggris disebut consigner” tetapi khusus untuk      pengangkutan laut disebut “shipper” (A.K.Muhammad)
Penghitungan Jumlah Biaya Pengangkutan        
Menurut A.K. Muhammad ditentukan oleh beberapa hal :
1.      Jenis Pengangkutan, yaitu pengangkutan darat, laut, dan udara. Tiap jenis' pengangkutan mempunyai biaya pengangkutan yang tidak sama.
2.      Jenis alat angkutan, yaitu Bus, K.A, kapal Laut, Pesawat udara. Tiap jenis alat pengangkutan mempunyai pelayanan dan kenikmatan yang berbeda, sehingga berbeda pula tarif yang diterapkan.
3.      Jarak Pengangkutan, yaitu jarak jauh dan dekat. Jarak jauh makan  biaya pengangkutan lebih banyak dlbandingkan dengan jarak dekat.
4.      Waktu Pengangkutan, yaitu cepat atau lambat, pengangkutan yang cepat lebih besar biayanya dibandingkan dengan yang lambat.
5.      Sifat muatan, yaitu berbahaya, mudah busuk, mudah pecah. Sifat ini mempunyai kemungkinan kerugian lebih besar daripada sifat yang tidak berbahaya.
Tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan
1.      Tanggung Jawab Pengangkut
Saefullah Wirapradja  beirpendapat bahwa, setidak-tidaknya ada 3 prinsip tanggung jawab  pengangkut  dalam perjanjian pengangkutan :
a.       Prinsip Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability)
Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian atas kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu. (Lihat Pasal 1365 BW)
b.      Prinsip   tanggung   jawab   berdasarkan   praduga (presumtion liability)
Pengangkut (diangga selalu bertanggung jawab atas kerugian yang  timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat rnembuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Yang dimaiksud dengan tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu beban pembuktian ada pada pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut.
c.        Prinsip Tanggung jawab mutlak (Absolute Itabilily)
Pengangkut harus bertanggung jawab nnembayar ganti kerugian   terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung   jawab   dengan   alasan apapun   yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak. 
2.      Tanggung jawab pengirim
Biasanya ongkos pengangkutan dibayar oleh sipengirim barang, tetapi ada kalanya juga dibayar oleh orang yang dialamatkan. Bagaimanapun juga, sipengangkut selalu berhak menuntut pembayaran ongkos pengangkutan itu kepada kedua-duanya, yaitu kepada sipengirim atau sipenerima barang.
Dengan adanya tanggung jawab dari pengirim yaitu membayar uang angkutan, maka hal tersebut merupakan pembatasan dan pengurangan tangungjawab pengangkut. Sehingga Undang-undang memperkenankan kepada   pengangkut untuk membuktikan bahwa kurangnya kesempurnaan prestasi (barang-barang berkurang pada saat penyerahan) atau prestasinya  yang tidak wajar atau tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan waktu penyelesaaian pengangkutan (beb barang ternyata rusak atau bercacad yang terlihat dari luar, terlambat sampainya ditempat tujuan, atau sama sekali tidak, tak dapat dipergunakan sama sekali) semuanya  itu disebabkan :
a.       Cacad yang lekat pada barang atau barang-barangnya sendiri
Pembawaan dari barang-barang tertentu yang menyebabkan kerusakan pada benda   atau ini jadi terbakar dalam perjaianan.
b.      Kesalahan    dan/atau    kelalaian    sendiri    pada pengiriim/ekspeditur.
Misalnya   peti-peti   berisikan   benda-benda pengiriman yang ternyata kurang kokoh/atau peti-peti yang ternyata kurang rapat dan mudah dimasuki air dsb.
c.       Keadaan Memaksa (Overmacht)
Terdapat dalam Pasal 91, 92 KUHD dan 1245 BW Pasal 92 KUHD menentukan, pengangkut atau juragan perahu tak bertanggung jawab   atas terlambatnya pengangkutan, jika hal ini disebabkan karena keadaan yang memaksa.
BAB III
PENGANGKUTAN LAUT DAN PERAIRAN LAUT SERTA PERANTARA PENGANGKUTAN
Ekspeditur
Yaitu orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan dagangan dan barang-barang lainnya rnelalui daratan atau pengairan. Diatur dalam KUHD Buku I, Bab V, Bagian Pasal 85 – 90. Perjanjian Ekspedisi : perjanjian Yang dibuat antara ekspeditur dengan pengirim. Perjanjian Pengangkutan : perjanjian Antara ekspeditur atas nama pengirim dengan pengangkut. Jadi ekspeditur menurut Undang-undang (Psl 86 ayat (1) KUHD), hanya seorang perantara yang bersedia mencarikan pengangkut bagi pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang-barang yang telah diserahkan kepadanya.
Pengusaha Transport
Orang yang bersedia menyelenggarakan seluruh pengangkutan dengan satu jumlah uang angkutan yang ditetapkan sekaligus untuk semuanya, tanpa mengikatkan diri untuk melakukan pengangkutan itu sendiri. Jadi apabila dibedakan dengan Pengangkut (Psl 466 KUEHD), orang yang mengikatkan   diri untuk menyelenggarakan pengangkutan. Sedangkan Ekspeditur (Psl 86 KUHD), orang yang bersedia mencarikan pengangkut bagi pengirim.
Makelar Kapal
Yaitu perantara di bidang jual beli kapal atau carter mencarter kapal. Untuk fungsi yang terakhir ini makelar kapal bertindak atas nama pengusaha kapal, Makelar kapal mengusahakan seIanjutnya agar kapal dimuati, dibongkar dan diserahkan kembali kepada pengusaha kapal. Menurut Purwosutjipto, makelar tidak berwenang mengurus ganti kerugian, sebab dia bukan pihak dalam perjanjian carter kapal, paling banter dia dapat menjadi saksi.
Agen Duane
Yaitu  perantara  perkapalan/ yang dulu tugasnya mengusahakan sebuah kapal masuk dalam rombongan kapal/konvoi tertentu.  Sekarang  tugasnya  adalah mengusahakan dokumen kapal, menyelesaikan dan membayar bea - cukai dan lain-lain pekerjaan kepelabuhan
Pengatur Muatan atau Juni Padat
Yaitu orang yang tugasnya menetapkan tempat dimana suatu barang liiarus disimpan dalani ruangan kapal. Untuk mengatur barang-barang dalam ruangan kapal yang terbatas itu dibutuhkan ahli yang pandai menempatkan barang-barang sesuai dengan sifatnya, jangan sampai mudah bergerak kalau kapal kebetulan oleng, miring, dll.
Per-Veem-an
Menurut Pasal 1 PP No. 2 Tahun 1969, Per-veeman, adalah usaha yang ditujukan pada penampungan dan penumpukan barang-barang (warehousing), yang dilakukan dengan mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, dimana dikerjakan dan disiapkan barang-barang yang diterima dari kapal untuk peredaran selanjutnya atau disiapkan untuk diserahkan   kepada   perusahaan   pelayaran   untuk dikapalkan, yang meliputi antara lain kegiatan: ekspedisi muatan, pengepakan, pengepakan kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuran, penandaan, dll. Pekerjaan yang bersifat teknis ekonomis yang diperlukan perdagangan dan pelayaran.
Jenis Bencana Pada Pengangkutan Laut
Jenis bencana pada pengangkutan laut pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1.      Bencana alam
Hal ini antara lain karena badai, gdombang, angin, kabut, kapal kandas, pulau karang, gunung es, kilat, tabrakan kapal.
2.      Perbuatan manusia
a.       Awak kapal dengan sengaja memusnahkan atau, membuang ke laut sebagian dari muatan untuk mengurangi muatan kapal dalam keadaan bahaya yang lazimnya dikenal dengan istilah "jettison".
b.      Perbuatan tercela dari awak kapal dengan merusakkan kapal maupun muatan, sewenang-wenang dalam mengemudikan kapal, sengaja menimbulkan kebakaran serta perbuatan lainnya yang tercela dan melanggar hukum yang akan merugikan pemilik kapal maupun pemilik muatan yang lazim disebut "Barratry".
c.       Penyimpangan tujuan pelayaran tanpa sebab yang memaksa, yang dapat merugikan dan merusak muatan, misalnya karena menjadi lebih lama dalam perjalanan, mutan seperti buah-buahan menjadi membusuk dan binatang ternak yang diangkut lebih banyak mati, lazim disebut "deviation".
d.      Bencana yang ditimbulkan oleh pihak ketiga, misalnya bajak laut, penyamun, pencuri, pencoleng, perampok, pemberontakan, perampasan, penawanan, pemogokan, kerusuhan, dll. termasuk dalam hal ini kerusakan yang disebabkan oleh tikus, kutu, binatang penggerek dan hama lainnya.
e.       Bencana yang ditimbulkan oleh pemilik barang sendiri, antara lain kelalaian pemilik dalam menyelenggarakan pengepakan yang tidak layakk laut (“unseaworthy packing"), ataupun karena perbuatan lain yang sengaja dilakukan dengan itikad buruk.
3.      Sifat-sifat dari  muatan sendiri. Lazimnya dikenal dengan istilah "inherent vice". Pada umumnya barang yang diangkut melalui laut akan selalu  mengalami kerusakan kecil maupnn penyusutan bagaimanapun baiknya pengepakan. Misalnya buah, sayur dan pada binatang, serta barang besi  akan sedikit berkarat karena oksidasi ataupun udara laut yang   yang mengandung garam.

Jenis Kerusakan Atau Kerugian Dalam Pengangkutan Laut
Pasal 696 KUHD menentukan tentang averij ini. Pasal ini menentukan segala biaya luar biasa yang dikeluarkan guna kepentingan sebuah kapal dan barang-barang yang dimuatnya, baik biaya tadi dikeluarkan bersama-sama atau sendiri-sendiri, segala kerugian yang menimpa kapal dan barang-barang tersebut, selama waktu yang di dalam bagian ketiga dari bab kesembilan ditetapkan mengenai saat mulai berlakunya dan berakhirnya bahaya, segala sesuatu tadi harus dianggap sebagai kerugian laut (avary).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa kerugian laut adalah segala biaya luar biasa   yang dikeluarkan untuk kepentingan kapal dan barang serta segala kerugian yang menerima kapal dan barang tersebut, baik untuk kepentingan bersama atau sendiri-sendiri.
Berdasarkan macam-macam kerugian tadi undang-undang merumuskan menjadi 2 macam kerugian lautyaitu:
1.      Kerugian laut umum   (avarij grosse) yaitu : yang meliputi kapal, barang dan biaya pengangkutan secara bersama-sama.
2.      Kerugian laut khusus (bijzonder avarij), yang meliputi kapal saja atau barang saja.
Pokok Hukum Dagang Indonesia Tentang Pengangkutan
Pada perjanjian pengangkutan, baik menutupnya, maupun melaksanakan, kebanyakan kalinya diserahkan kepada orang lain, yang ahli dibidang yang bersangkutan. Begitulah misalnya pada waktu menutup perjanjian pengangkutan atau perjanjian carter kapal, untuk yang pertama diserahkan kepada ekspeditur, sedangkan bagi yang kedua kepada makelar kapal (cargadoor).

Siapa Ekspeditur Itu
Bila ada seorang perantara yang bersedia untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi seorang pengirim itu namanya "ekspeditur." Mengenai ekspeditur ini diatur dalam KUHD, Buku I, Bab V, Bagian II, pasal 86 sampai dengan 90. Pasal 86 ayat (1) KUHD berbunyi: (Ekspeditur adalah orang, yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lainnya melalui daratan atau perairan). Di sini jelas, bahwa ekspeditur menurut undang-undang hanya seorang perantara yang bersedia mencarikan  pengangkut bagi pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang-barang yang telah diserahkan kepadanya itu.
Sifat Hukum Perjanjian Ekspedisi
Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal-balik antara ekspeditur dengan pengirim, di mana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi si pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur. Perjanjian ekspedisi ini mempunyai sifat hukum rangkap, yaitu "pelayanan berkala" (pasal 1601 KUHPER) dan "pemberian kuasa" (pasal l792 dsl KUHPER)
Tugas Ekspeditur
Dalam merumuskan tugas ekspeditur, sebagai yang dilakukan dalam pasal 86 ayat (1) KUHD, pembentuk undang-undang memakai istilah "doen vervoeren" (menyuruh mengangkut). Jadi, menurut pembentuik undang-undang tugas ekspeditur adalah terpisah dengan tugas pengangkut. Tugas ekspeditur hanya mencarikan pengangkut yang baik bagi si pengirim, dan tidak menyelenggarakan pengangkutan itu sendiri. Sedang "menyelenggarakan pengangkutan" adalah tugas pengangkut.
Kewajiban Dan Hak Ekspeditur
Berhubung dengan perjanjian ekspedisi itu mempunyai banyak sifat hukumnya seperti yang sudah Purwosutjipto uraikan di muka, maka sebagai akibatnya ekspeditur dapat mempunyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak sebagai berikut:
a.       Sebagai pemegang kuasa. Ekspeditur melakukan perbuatan hukum atas nama pengirim. Dengan ini maka dia tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai pemberian kuasa (pasal 1792 sampai dengan 1819KUHPER).
b.      Sebagai komisioner. Kalau ekspeditur berbuat atas namanya sendiri, maka berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai komisioner (pasal 76 dsl. KUHD).
c.       Sebagai penyimpan barang. Sebelum ekspeditur mendapat/menemukan pengangkut yang memenuhi syarat, maka sering juga ekspeditur terpaksa harus menyimpan dulu barang-barang pengirim digudangnya. Untuk ini berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai penyimpanan barang (bewaargeving), pasal 1694 dsl. KUHPER.
d.      Sebagai penyelenggara urusan (zaakwaarnemer). Untuk melaksanakan amanat pengirim, ekspeditur banyak sekali harus berurusan dengan pihak ketiga untuk kepentingan barang-barang tersebut, misalnya: melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang pengeluaran dan pemasukan barang-barang di pelabuhan, bea cukai dan lain-lain. Di sini ada unsur "penyelenggaraan urusan" (zaakwaarneming) dan untuk ini berlakulah pasal 1354 dsl. KUHPER.
e.       Register dan surat muatan. Sebagai pengusaha, seorang ekspeditur harus memelihara register harian tentang macam dan jumlah barang-barang dagangan dan barang lainnya yang harus diangkut, begitu pula harganya (pasal 86 ayat (2) KUHD). Hal ini erat hubungannya dengan pasal 6 KUHD. Kecuali register harian tersebut di atas, dia harus membuat surat muatan (vrachtbrief — pasal 90 KUHD) pada tiap-tiap barang yang akan diangkut.
f.        Hak retensi.Berdasarkan fungsi-fungsi atau sifat-sifat perjanjian ekspedisi tersebut di atas, maka menjadi persoalan apakah ekspeditur mempunyai hak retensi. Sebagai yang telah diketahui, pemegang kuasa mempunyai hak retensi (pasal 1812 KUHPER), begitu juga komisioner (pasal 85 KUHD), penyimpan barang (pasal 1729 KUHPER), penyelenggara urusan (menurut arrest H.R. tanggal 10 Desember 1948) maka menurut Purwosutjipto ekspediturpun mempunyai hak retensi.
Tanggung Jawab Ekspeditur
Pasal 87 KUHD menetapkan tanggung jawab ekspeditur terhadap barang-barang yang telah diserahkan pengirim kepadanya untuk:
a.       menyelenggarakan pengiriman selekas-lekasnya dengan rapi pada barang-barang yang telah diterimanya dari pengirim;
b.      mengindahkan segala upaya untuk meiyamin keselamatan barang-barang tersebut.
Kecuali tanggung jawab seperti tersebut di atas, juga hal-hal di bawah ini menjadi tanggungjawabnya:
c.       pengambilan barang-barang dari gudang pengirim;
d.      bila perlu penyimpanan di gudang ekspeditur;
e.       pengambilan barang-barang muatan dari tempat (pelabuhan) tujuan untuk diserahkan kepada penerima yang berhak atau kepada pengangkut selanjutnya.
Batas Tanggung Jawab Ekspkditur
Menurut Pasal 87 KUHD, tanggung jawab ekspeditur berhenti pada saat barang-barang dari pengirim itu telah diterima oleh pengangkut. Tetapi menurut Pasal 88 KUHD, kerugian-kerugian sesudah saat tersebut, bila dapat dibuktikan bersumber pada kesalahan atau kelalaian ekspeditur, maka kerugian itu dapat dibebankan kepada ekspeditur.
Kecuali itu, ekspeditur juga harus bertanggung jawab atas ekspeditur antara (tussen-expediteur), yang jasanya dipergunakannya (Pasal 89 KUHD). Tanggung jawab ekspeditur seperti ditentukan dalam Pasal 89 KUHD ini sifatnya lebih luas daripada tanggung jawab seorang pemegang kuasa menurut Pasal 1803 KUHPER yang berbunyi sebagai berikut: "Si pemegang kuasa bertanggung jawab untuk orang yang telah ditunjuk sebagai penggantinya dalam melaksanakan tugasnya, bila:
a.       dia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya;
b.      kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebutan seorang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya untuk itu ternyata se-orang yang tidak cakap atau tidak mampu. Dan selanjutnya. Perbedaan yang besar ialah Pasal 89 KUHD tanpa syarat, sedang-kan Pasal 1803 KUHPER dengan syarat.
Ekspeditur Tidak Tetap
Di samping adanya ekspeditur sebagai pengusaha yang bersifat tetap, dalam praktek ada ekspeditur yang tidak tetap (insidentil). artinya dia bertindak sebagai ekspeditur hanya kadang kala saja. Ekspeditur macam ini tidak diatur dalam KUHD. Sesuai (analogi) dengan kedudukan komisioner insidentil, yang diatur dalam Pasal 85-a KUHD, maka bagi ekspeditur insidentil juga berlaku ketentuan-ketentuan bagi ekspeditur tetap, yang diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 KUHD.
Hubungan Penerima Dengan Perjanjian Ekspedisi
Kalau penerima telah menerima barang muatan, atau dia menolak untuk menerimanya, karena ada kerusakan atau kekurangan, maka. dia tidak hanya bersangkutan dengan perjanjian pengangkutan saja, tetapi juga dengan perjanjian ekspedisi, sejauh dapat diketahui dari dokumen-dokumen yang ada. Dia harus membayar uang angkutan, bila ditentukan demikian dalam perjanjian (Pasal 491 KUHD).
Penerima mempunyai hak sendiri yang bersangkutan dengan perjanjian ekspedisi dan juga dengan perjanjian pengangkutan. Hak sendiri yang dimiliki oleh penerima inilah yang menjadi dasar ketentuan Pasal 93 dan Pasal 94 KUHD. Dalam hal inikesulitan hanya ada, bila penerima tidak menggunakan haknya. Pada pengangkutan dengan konosemen, kesulitan itu tidak akan terjadi, sebab di sini hanya pemegang konosemen sajalah yang berhak bertindak dalam penuntutan kepada pengangkut.
Hak Gugat Ekspeditur Terhadap Pengangkut
Kalau seorang pengangkut melakukan perbuatan melawan hukum dan menurut pasal 91 KUHD dia bertanggung jawab atas kerugian itu, maka hak apa yang dapat dipergunakan oleh ekspeditur terhadap pengangkut yang bersangkutan. Kalau ekspeditur menutup perjanjian pengangkutan atas nama pengirim, maka pengirim dapat langsung menuntut ganti kerugian kepada pengangkut. Tetapi bila ekspe-ditur menutup perjanjian pengangkutan atas namanya sendiri, maka hanya ekspeditur yang berhak menuntut ganti kerugian dan bukan pengirim, sebab pengirim tidak mempunyai hubungan kontraktuil dengan pengangkut. Karena ekspeditur berbuat atas tanggungan pengirim, maka orang dapat berkata: kerugian barang-barang tidak mengenainya, jadi, dia tidak mempunyai kepentingan terhadap tun-tutan ganti rugi. Orang juga dapat berkata: pengirim tidak ada hu-bungan kontfaktuil dengan pengangkut.jadi dia tidak bisa menuntut ganti rugi berdasar perjanjian pengangkutan, tetapi dapat menuntut berdasarkan perbuatan melawan hukum, pada mana dia harus dapat membuktikan sifat melawan hukumnya perbuatan pengangkut. Kesulitan persoalan ini ditambah pula, bila dalam perjanjian pengang-kutan itu tidak jelas benar, apakah ekspeditur berbuat atas namanya pengirim atau atas namanya sendiri. Mengenai soal ini praktek membutuhkan penyelesaian yang praktis. Untung juga, ada keputusan pengadilan Hofs-Gravenhage 26 Januari 1967, di mana ditetapkan bahwa kepada ekspeditur yang berbuat atas namanya sendiri diberi hak khusus untuk menuntut ganti kerugian. Kepentingan atas tuntutannya itu merupakan suatu jasa servis bagi pemberi kuasanya untuk memasukkan ganti kerugian. Kalau dia bertanggung jawab atas kerugian itu, maka disitulah letak kepentingannya. Penyelesaian ini dapat dipakai juga bagi seorang pengangkut yang bertindak sebagai ekspeditur bagi suatu transport yang bersambungan dengan trayeknya sendiri.

BAB IV
PENGUSAHA TRANSPOR

Pengertian
Orang bertindak sebagai pengusaha transpor (transportondernemer), bila dia menerima barang-barang tertentu untuk diangkut dengan uang angkutan tertentu pula, tanpa mengikatkan diri untuk melakukan pengangkutan itu sendiri. Jadi, pengusaha transpor menerima seluruh pengangkutan dengan satu jumlah uang angkutan untuk seluruhnya, tetapi tidak, atau hanya sebagian saja yang diangkutnya sendiri.
Mengenai pengusaha jenis ini, Purwosutjipto tidak mempergunakan istilah "pengusaha pengangkutan," sebab kata "pengangkutan" di sini menimbulkan kecenderungan orang menganggap bahwa pengusaha pengangkutan itu sama saja dengan "pengangkut." Kecuali itu, kata "transpor" sudah menjadi istilah bahasa Indonesia (Uhat Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta, cetakan tahun 1976, halaman 1089). Dengan istilah "pengusaha transpor" itu, Purwosutjipto memperkirakan, orang akan beranggapan bahwa pengusaha transpor berbeda dengan pengangkut.
Sifat Hukum Perbuatan Pengusaha Transpor
Perbuatan pengusaha transpor lebih-lebih bersifat pemberian jasa yang tidak terus-menerus. Pemberian jasa itu diberikan, bila ada yang membutuhkan. Jadi, sifat perbuatan pengusaha transpor itu adalah pelayanan berkala. Kecuali sifat pelayanan berkala, perbuatan pengusaha transpor juga mengandung sifat lain, yaitu: Pemberian kuasa. Dalam hal ini si pengusaha transpor diberi kuasa oleh pengirim untuk melakukan segala macam pekerjaan bagi terselenggaranya pengangkutan yang aman sampai di tempat tujuan, yang selanjutnya harus diserahkan kepada penerima yang ditunjuk oleh pengirim. Dari itu Purwosutjipto berpendapat bahwa sifat hukum perbuatan pengusaha transpor adalah rangkap, yaitu pelayanan berkala dan pemberian kuasa. Menurut Dorhout Mees,  perbuatan pengusaha transpor itu hanya bersifat pelayanan berkala.
Perbedaan AntaraPengangkut, Ekspeditur Dan Pengusaha Transpor
Kalau kita berpedoman pada pasal 466 KUHD, maka yang disebut pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan. Sedangkan ekspeditu rmenurut pasal 86 KUHD adalah orang yang bersedia untuk mencarikan pengangkut bagi pengirim. Pengusaha transpor adalah orang bersedia menyelenggarakan Seluruh pengangkutan dengan satu jumlah uang angkutan yang ditetapkan sekaligus untuk semuanya, tanpa mengikatkan diri untuk melakukan pengangkutan itu sendiri. Dari itu, perbedaan antara ekspeditur, pengangkut dan pengusaha transpor dapat diuraikan sebagaiberikut:
a.       Perbedaan antara ekspeditur di satu pihak dengan pengangkut dan pengusaha transpor di lain pihak adalah: ekspeditur hanya bersedia untuk mencarikan pengangkut bagi pengirim, sedangkan pengangkut dan pengusaha transpor bersedia untuk menyelenggarakan pengangkutan.
b.      Perbedaan antara pengangkut dengan pengusaha transpor dapat dijelaskan sebagaiberikut:
1.      pengangkut menerima pengangkutan yang dapat diangkut dalam trayeknya sendiri;
2.      pengusaha transpor menerima seluruh pengangkutan, baik yang dapat diangkut melalui trayeknya sendiri, maupun di luarnya.. Sudah tentu,pada hal yang terakhir ini pengusaha transpor mempergunakan pengangkut lain. Uang angkutan bagi pengangkutan yang melalui trayeknya sendiri, maupun melalui trayek orang lain diperhitungkan sekaligus dan merupakan satu jumlah yang tidak diperinci lagi. Hal yang terakhir inilah yang menjadi ciri khas dari pengusaha transpor.
Makelar Kapal                
Pengertian
Makelar kapal (cargadoor of scheepsmakelaar) adalah perantara di bidang jual-beli kapal atau carter-mencarter kapal.Untuk fungsi yang terakhir ini makelar kapal bertindak atas nama pengusaha kapal. Makelar kapal mengusahakan selanjutnya agar kapal dimuati, di bongkar dan diserahkan kembali kepada pengusaha kapal. Dorhout Mees membimbangkan apakah pengurusan ganti kerugian menjadi wewenang makelar. Pada hemat Purwosutjipto makelar tidak berwenang mengurus persoalan ganti kerugian, sebab dia bukan pihak dalam perjanjian carter kapal, paling banter dia dapat menjadi saksi.
Sifat Hukum Perbuatan Makelar Kapal
Pada hemat Purwosutjipto, sifat hukum perbuatan makelar kapal itu rangkap, yaitu :
a.       pelayanan berkala, sebab perbuatan itu baru dilakukan, bilamana ada amanat dari pemberi kuasa. Jadi, perbuatan itu kadang kala saja, yakni bila jasanya dibutuhkan oleh pengusaha kapal atau oleh pencarter (Pasal 1601 KUHPER);
b.      pemegang kuasa, sebab dia bertindak bila ada amanat dari pemberi kuasa, baik dari pengusaha kapal atau pencarter (Pasal 1792 dsl. KUHPER);
c.       makelar, sebab dia bertindak sebagai makelar. Dengan ini berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai makelar (Pasal 62 dsl. KUHD).
Agen Duane
Agen duane (convooiloper ot Douane-agent) ini adalah perantara perkapalan, yang dulu tugasnya mengusahakan sebuah kapal masuk dalam rombongan kapal (convooi) tertentu. Sekarang tugasnya ialah mengusahakan dokumen kapal yang dikenal dengan nama in- dan uitklaring", menyelesaikan dan membayar bea cukai dan lairrlain pekerjaan kepelabuhanan.
Sifat Hukum Perbuatan Agen-Duane
Sebagai juga pada perantara perkapalan yang lain, sifat hukum pernyatan agen-duane (convooiloper of douane agent) adalah :
a.       pelayanan berkala, sebab hubungan kerja dengan pemberi kuasanya tidak tetap, hanya kadang kala saja, bila dibutuhkan;
b.      pemberian kuasa, sebab agen-duane itu bertindak atas nama pemberi kuasa. Siapa yang menjadi pemberi kuasanya, tergantung siapa yang memberi amanat, apakah pengusaha kapal, pemilik barang, pencarter atau lain-lainnya.
PengaturMuatan
Pengatur muatan (stuwadoor) atau juru padat adalah orang yang tugasnya menetapkan tempat di mana suatu barang harus disimpan dalam ruangan kapal. Sifat kodrat barang itu ada yang rnembutuhkan ventilasi yang cukup, ada pula yang mempunyai sifat yang mudah terbakar, ada yang mudah pecah dan lain-lain. Untuk mengatur barang-barang dalam ruangan kapal yang terbatas itu dibutuhkan ahlinya yang pandai menempatkan barang-barang sesuai dengan sifat nya, jangan sampai mudah bergerak kalau kapal kebetulan oleng dan lain-lain. Orang ahli pengatur muatan di kapal itu disebut pengatur muatan atau juru padat atau stuwadoor. Jadi, pengatur muatan itu biasanya yang melakukan pemuatan dan pembongkaran barang.
Hubungan Kerja Pengatur Muatan
Pengatur muatan biasanya merupakan pengusaha tersendiri, yang bersedia melakukan tugas pemuatan dan pembongkaran muatan dan untuk itu mempunyai anak buah sendiri. Meskipun pengatur muatan itu merupakan  perusahaan tersendiri, tidak termasuk perusahaan kapal, tetapi kalau sudah ada dalam kapal, maka segala perbuatannya tunduk pada aturan yang berlaku di kapal (pasal 321 KUHD). Jadi, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pengatur kapal dan/ atau anak buahnya, menjadi tanggung jawab pengusaha kapal. Kalau pengatur muatan beserta anak buahnya, bila sudah tidak ada tugas lagi dalam kapal, maka mereka kembali ke induk perusahaannya.
Per-Veem-An Dan Ekspedisi Muatan
Sampai di sini Purwosutjipto sudah membicarakan jenis-jenis perantara pengangkutan yang terdiri dari : ekspeditur, pengusaha transpor, makelar, kapal, agen duane, dan pengatur muatan. Dalam praktek di Indonesia beberapa fungsi perantara pengangkutan tersebut dipersatukan dalam sebuah perusahaan tertentu, misalnya pada per-veem-an dan ekspedisi muatan kapal laut. Dua perusahaan tersebut terakhir ini adalah lazim di bidang pengangkutan laut. Sebagai perusahaan perantara pengangkutan laut, per-veem-an dan ekspedisi muatan laut pengaturannya dipersatukan dengan perusahaan laut, yakni dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1969 (LN 1969-2), tentang "Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut". Pasal 28 ayat (1) PP ini menetapkan bahwa persyaratan usaha per-veem-an dan prosedur memperoleh izin ditetapkan oleh Menteri Perdagangan, yaitu :
Surat Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 8 Juni 1970, No 122/Kp/VI/70, tentang "Persyaratan dan Prosedur Memperoleh Izin Usaha (Per-veem-an)".
Menurut pasal 1 PP No 2 Tahun 1969 yang dimaksud dengan per-veem-an ialah : usaha yang ditujukan pada penampungan dan penumpukan barang-barang (warehousing), yang dilakukan dengan mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, di mana dikerjakan dan disiapkan barang-banng yang diterima dari kapal untuk peredaran selanjutnya atau disiapkan untuk diserahkan kepada perusahaan pelayaran untuk dikapalkan, yang meliputi antara lain kegiatan: ekspedisi muatan, pengepakan, pengepakan kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuran, penandaan can lain-lain pekerjaan yangbersifat teknis ekonomis yang diperlukan perdagangan dan pelayaran.
Menurut pasal 1 PP No 2 Tahun 1969 tersebut di atas, tugas ekspedisi muatan kapal laut termasuk tugas per-veem-an. Dari itu sebaiknya kita mengerti dulu apa yang men.jadi tugas ekspedisi muatan kapal laut itu.
Tugas Ekspedisi Muatan Kapal Laut
Menurut pasal 1 PP No 2 Tahur. 1969, tugas ekspedisi muatan kapal laut ialah: usaha yang ditujukan kepada pengurusan dokumen-dokumen dan pekerjaan yang menyangkut penerimaan/penyerahan muatan yang diangkut melalui lautan untuk diserahkan kepada/diterima dari perusahaan pelayaran untuk kepentingan pemilik barang.
Izin penyelenggaraan dan pengusahaan ekspedisi muatan laut diberikan oleh Menteri Perhubungan kepada:
a.       Perusahaan pelayaraan atau perusahaan per-veem-an yang memiliki izin usaha berdasarkan PP No 2 Tahun 1969;
b.      Perusahaan-perusahaan milik warga negaraR.I. yang memiliki izin impor/ekspor, perusahaan perdagangan antar pulau berdasarkan rekomendasi dari Menteri Perdagangan (Pasal 32 PP No 2/1969).
BAB V
ANGKUTAN DARAT

Pengaturan Tentang Angkutan Darat
Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana telah dirumah dengan Undang-Undang No.9 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.      Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;
2.      Angkutan adalah pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan;
3.      Jaringan transportasi jalan adalah serangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga membentuk satu kesatuan sistem jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan;
4.      Jalan adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum;
5.      Terminal adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan memuat dan menurunkan orang dan/atau barang serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum, yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan transportasi;
6.      Kendaraan adalah satu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor atau kendaraan tidak bermotor;
7.      Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;
8.      Perusahaan angkutan umum adalah perusahaan yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan umum di jalan;
9.      Kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran; 10.Pengguna jasa adalah setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan, baik untuk angkutan orang maupun barang.
Pengaturan Tentang Kelas Jalan Dan Penggunaan Jalan
Pasal 7
1.      Untuk pengaturan penggunaan jalan dan pemenuhan kebutuhan angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas.
2.      Pengaturan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
1.      Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta kemudahan bagi pemakai jalan, jalan wajib dilengkapi dengan :
a.       rambu-rambu;
b.      marka jalan;
c.       alat pemberi isyarat lalu lintas;
d.      alat pengendali dan alat pengaman pemakai jalan;
e.       alat pengawasan dan pengamanan jalan;
f.       fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar jalan.
2.      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan:
a.       Pengertian rambu-rambu adalah salah satu alat perlengkapan jalan dalam bentuk tertentu yang memuat lambang, huruf, angka, kalimat dan/atau perpaduan diantaranya, yang digunakan untuk memberikan peringatan, larangan, perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan.
b.      Pengertian marka jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan atau di atas permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong serta lambang lainnya yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan daerah kepentingan lalu lintas.
c.       Pengertian alat pemberi isyarat lalu lintas adalah peralatan teknis berupa isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan bunyi untuk memberi peringatan atau mengatur lalu lintas orang dan/atau kendaraan di persimpangan, persilangan sebidang ataupun pada ruas jalan.
d.      Pengertian alat pengendali adalah alat tertentu yang berfungsi antara lain untuk mengendalikan kecepatan, ukuran dan beban muatan kendaran pada ruas-ruas jalan tertentu. Pengertian alat pengaman pemakai jalan adalah alat tertentu yang berfungsi sebagai alat pengaman dan pemberi arah bagi pemakai jalan misalnya pagar pengaman jalan, dan delinator
e.       Pengertian alat pengawasan dan pengamanan jalan adalah alat tertentu yang diperuntukkan guna mengawasi penggunaan jalan agar dapat dicegah kerusakan jalan yang diakibatkan oleh pengoperasian kendaraan di jalan yang melebihi ketentuan.
f.       Pengertian fasilitas pendukung dimaksud mencakup antara lain fasilitas pejalan kaki, parkir dan halte.
 Pengaturan Tentang Terminal
Pasal 9
1.      Untuk menunjang kelancaran mobilitas orang maupun arus barang dan untuk terlaksananya keterpaduan intra dan antar moda secara lancar dan tertib, di tempat-tempat tertentu dapat dibangun dan diselenggarakan terminal.
2.      Pembangunan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah dan dapat mengikutsertakan badan hukum Indonesia.
3.      Penyelenggaraan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pemerintah. (4)Ketentuan mengenai pembangunan dan penyelenggaraan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pada hakekatnya terminal merupakan simpul dalam sistem jaringan transportasi jalan yang berfungsi pokok sebagai pelayanan umum antara lain berupa tempat untuk naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, untuk pengendalian lalu lintas dan angkutan kendaraan umum, serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. Sesuai dengan fungsi tersebut maka dalam pembangunan terminal perlu mempertimbangkan antara lain lokasi, tata ruang, kapasitas, kepadatan lalu lintas dan keterpaduan dengan moda transportasi lain.
Perkretaapian
UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkretaapian
Pengertian perkretaapian lebih luas dari pada pengertian kretaapi.
Pasal 1
1.      Perkeretaapian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan sarana, prasarana, dan fasilitas penunjang kereta api untuk penyelenggaraan angkutan kereta api yang disusun dalam satu sistem;
2.      Kereta api adalah kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel,
Pembinaan perkretaapian, dalam Pasal 4, “Perkeretaapian dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.”
Penyelenggaraan:
            Pasal 6
1.      Perkeretaapian diselenggarakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya diserahkan kepada badan penyelenggara yang dibentuk untuk itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasannya: Pelaksanaan penyelenggaraan angkutan kereta api oleh badan penyelenggara tidak mengurangi tanggung jawab Pemerintah dalam penyediaan prasarana dan sarana serta kualitas pelayanan kereta api. Contohnya: westing house.
2.      Badan usaha lain selain badan penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diikutsertakan dalam kegiatan perkeretaapian atas dasar kerjasama dengan badan penyelenggara.
Pasal 7
1.      Untukmenunjang kegiatan badan usaha di bidang industri, pertanian, pertambangan, dan kepariwisataan oleh badan usaha yang bersangkutan dapat digunakan kereta api khusus.
Prasarana dan sarana, BAB V
Pasal 8
1.      Pemerintah menyediakan dan merawat prasarana kereta api.
2.      Penyediaan dan perawatan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilimpahkan kepada badan penyelenggara.
3.      Pengusahaan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan oleh badan penyelenggara.
Pasal 9
1.      Badan penyelenggara menyediakan dan merawat sarana kereta api.
2.      Penyediaan dan perawatan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan oleh badan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dengan cara kerjasama dengan badan penyelenggara.
3.      Pengusahaan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan oleh badan penyelenggara.
Pasal 10
1.      Prasarana dan sarana kereta api yang dioperasikan wajib mempunyai keandalan dan memenuhi persyaratan keselamatan.
2.      Untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap setiap prasarana dan sarana kereta api dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
3.      Syarat keselamatan dan tata cara pemeriksaan serta pengujian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Pemerintah mengembangkan rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian.
Pasal 12
1.      Pengoperasian prasarana dan sarana kereta api hanya dapat dilakukan oleh tenaga-tenaga yang telah memenuhi kualifikasi keahlian.
2.      Persyaratan keahlian dan tata cara mendapatkan kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
Untuk kelancaran dan keselamatan pengoperasian kereta api, Pemerintah menetapkan pengaturan mengenai jalur kereta api yang meliputi daerah manfaat jalan, daerah milik jalan, dan daerah pengawasan jalan termasuk bagian bawahnya serta ruang bebas di atasnya.
Pasal 14
1.      Dilarang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul dan bangunan lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi serta *6557 menempatkan barang pada jalur kereta api baik yang dapat mengganggu pandangan bebas, maupun dapat membahayakan keselamatan kereta api.
2.      Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
1.      Perlintasan antara jalur kereta api dengan jalan dibuat dengan prinsip tidak sebidang.
2.      Pengecualian terhadap prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dimungkinkan dengan tetap mempertimbangkan keselamatan dan kelancaran, baik perjalanan kereta api maupun lalu lintas di jalan.
3.      Ketentuan mengenai perpotongan dan pengecualiannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
Dalam hal terjadi perpotongan jalur kereta api dengan jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum atau lalu lintas khusus, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.
Pasal 17
1.      Pembangunan jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air dan/atau prasarana lain yang menimbulkan atau memerlukan persambungan, pemotongan atau penyinggungan dengan jalur kereta api, dilaksanakan dengan cara yang tidak membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.
2.      Ketentuan mengenai pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), berwenang melarang siapapun:
a)      berada di daerah manfaat jalan kereta api;
b)      menyeret barang di atas atau melintasi jalur kereta api;
c)      menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain, selain untuk angkutan kereta api;
d)     berada di luar tempat yang disediakan untuk angkutan penumpang dan/atau barang;
e)      mengganggu ketertiban dan/atau pelayanan umum.
Pasal 19
1.      Stasiun merupakan tempat kereta api berangkat dan berhenti untuk melayani naik dan turunnya penumpang dan/atau bongkar muat barang dan/atau untuk keperluan operasi kereta api.
2.      Kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh badan penyelenggara, naik turunnya penumpang dan/atau bongkar muat barang hanya dapat dilakukan di stasiun.
Pasal 20
1.      Selain berfungsi sebagai tempat naik atau turunnya penumpang dan/atau bongkar muat barang, di stasiun dapat dilakukan kegiatan usaha penunjang angkutan kereta api.
2.      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pengaturan Tentang POS
UU No. 6 Tahun 1984 tentang POS
POS termasuk pengusaha transport. Pengusaha transport serupa tapi tak sama dengan pengusaha angkutan. Pengusaha angkutan menyelenggarakan angkutan dengan alat sendiri dan trayek sendiri, sedangkan pengusaha transport mengusahakan angkutan dengan alat sendiri ataupun bukan dan trayek sendiri ataupun orang lain, dengan ongkos angkut dibayar sekaligus.
Badan yang diserahi tugas penyelenggaraan POS adalah PT. POS berdasarkan PP no. 5 Tahun 1995, pendiriannya dibuat oleh notaris.
Weselpos, giro pos tidak ada hubungannya dengan bank, demikain juga dengan cek pos.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:
1.      Pos adalah pelayanan lalu lintas suratpos, uang, barang, dan pelayanan jasa lainnya yang ditetapkan oleh Menteri, yang diselenggarakan oleh badan yang ditugasi menyelenggarakan pos dan giro.
2.      Surat adalah berita atau pemberitahuan secara tertulis atau terekam yang dikirim dalam sampul tertutup.
3.      Warkatpos adalah surat yang memenuhi persyaratan tertentu.
4.      Kartupos adalah surat yang ditulis di atas kartu dengan bentuk dan ukuran tertentu.
5.      Suratpos adalah nama himpunan untuk surat, warkatpos, kartupos, barang-cetakan, surat-kabar, sekogram, dan bungkusan kecil.
6.      Paketpos adalah kemasan yang berisi barang dengan bentuk dan ukuran tertentu.
7.      Kiriman adalah satuan suratpos atau paketpos dalam proses pertukaran.
8.      Kiriman-pos adalah kantong atau wadah lain yang berisi himpunan surat-pos dan/atau paketpos untuk dipertukarkan.
9.      Weselpos adalah sarana pelayanan pengiriman uang melalui pos.
10.  Giropos adalah sarana pelayanan lalu-lintas uang dengan pemindahbukuan melalui pos.
11.  Cekpos adalah sarana pelayanan lalu-lintas uang untuk pembayaran dengan cek melalui pos.
12.  Kuitansi-pos adalah sarana pelayanan penagihan uang melalui pos.
13.  Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang penyelenggaraan pos.
BAB V
PENGANGKUTAN UDARA

Pengertian Pengangkutan Udara
Pengangkutan yang ada di Indonesia terdiri dari pengangkutan darat, laut dan udara. Pengangkutan udara dalam Ordonansi pengangkutan Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah satu pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Dalam konvensi Warsawa 1929, menyebut pengangkut udara dengan istilah carrier,akan tetapi konvensi Warsawa tidak memberitahu suatu batasan atau definisi tertentu tentang istilah pengangkut udara atau carrierini.

Hak dan Kewajiban Pihak Pengangkut Khususnya Pengangkut Udara Serta Hak dan Kewajiban Pihak Pemakai Jasa
1. Hak dan Kewajiban Pihak Pengangkut Khususnya Pengangkut Udara
Timbulnya kewajiban antara kedua belah pihak dalam hal ini pemakai jasa angkutan dan pengusaha angkutan udara adalah, didahului dengan adanya perjanjian yang dilakukan dan disetujui sebelumnya, walaupun perjanjian yang disepakati bersama im bersifat standar dalam arti berasal dari pihak pengusaha angkutan yang sudah dirumuskan sedemikian rupa sehingga para pemakai jasa tinggal menyetujuinya baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan.

2.Hak pengangkut yang terdapat pula dalam Ordonansi Pengangkutan Udara antara lain adalah sebagai berikut
1        Di dalam pasal 7 ayat (1), disebutkan bahwa pengangkut berhak untuk meminta kepada pengirim barang atau untuk membuat surat muatan udara.
2        Di dalam pasal 9, disebutkan bahwa pengangkut berhak meminta kepada pengirim barang untuk membuat surat muatan udara, jika ada beberapa barang.
3        Pengangkut juga berhak menolak pengangkutan penumpang jika ternyata identitas penumpang tidak jelas.
4        Hak pengangkut yang dicantumkan dalam tiket penumpang yaitu hak untuk menyelenggarakan angkutan kepada perusahaan pengangkutan lain, serta pengubah tempat-­tempat pemberhentian yang telah disetujui, semuanya tetap ada ditangan pengangkut udara.
5        Hak untuk pembayaran kepada penumpang atau pengirim barang atas barang yang telah diangkutnya serta mengadakan peraturan  yang perlu untuk pengangkutan dalam batas-batas yang dicantumkan Undang-undang.
3.  Kewajiban pengangkutan udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah sebagai berikut :
6        Pengangkut harus menandatangani surat muatan udara segera setelah muatan barang-barang diterimanya ( Pasal 8 ayat 2 ).
7        Bila pengangkut tidak mungkin melaksanakan perintah­-perintah dari pengirim, pengangkut harus segera memberitahukan Kepada pengirim ( Pasal 15 ayat 3 )
Sedangkan kewajiban-kewajiban pengangkut pada umumnya antara lain adalah :
8        Mengangkut penumpang atau barang-barang ketempat tujuan yang telah ditentukan.
9        Menjaga keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang dengan sebaik-baiknya.
10    Memberi tiket untuk pengangkutan penumpang dan tiket bagasi.
11    Menjamin pengangkutan tepat pada, waktunya.
12    Mentaati ketentuan-ketentuan penerbangan yang berlaku
4. Hak dan Kewajiban Pihak Pemakai Jasa
Adapun hak dari pemakai jasa angkutan penumpang udara pada umumnya adalah
13    Penumpang atau pemakai jasa angkutan dapat naik pesawat terbang atau udara sampai ke tujuan yang dikehendaki.
14    Penumpang atau ahli waris dapat menuntut ganti rugi apabila is mendapat kerugian yang diakibatkan kecelakaan pesawat terbang dalam penerbangan, dan kelalaian pengangkutan.
Sedangkan kewajiban pemakai jasa angkutan penumpang pada umumnya adalah sebagai berikut :
15    Penumpang wajib membayar biaya angkutan udara atau tiket.
16    Penumpang wajib memberitahu kepada pengangkut mengenai barang-barang yang dibawainya.
17    Penumpang berkewajiban mentaati peraturan-peraturan pengangkutan udara serta syarat-syarat perjanjian pengangkutan
Fungsi dan Peranan Pengangkutan Udara
Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh PT. Garuda Indonesia berfungsi sebagai sarana perhubungan antar pulau yang tidak, atau belum terjangkau oleh perhubungan darat dan laut juga berfungsi sebagai alat pembinaan bagi tumbuh dan berkembangnya perusahaan pengangkutan udara di Indonesia. Ditinjau dari sudut perannya pengangkutan udara merupakan tatanan dari perhubungan, yang merupakan keterpaduan kegiatan transportasi darat, laut dan udara, yang meliputi pengangkutan penumpang, barang dan bagasi.
Tanggung Jawab Pengangkutan Menurut Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad 1939-100
Pasal pokok dari Ordonansi Pengangkutan Udara mengenai tanggung jawab pengangkutan udara dalarn hal pengangkutan penumpang adalah pasal 24 ayat (1) yang berbunyi : “Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya, dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang”.
Dan pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut udara dianggap selalu bertanggung jawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal itu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1.      Adanya kecelakaan yang terjadi,
2.      Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara,
3.      Kecelakaan ini harus terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang
Sedangkan menurut Undang-undang No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan, pasal yang mengatur tentang tanggung jawab diatur dalam pasal 43 ayat (1) yang berbunyi :
“Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggung jawab atas
1.      Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut.
2.      Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut.
3.      Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terkait hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut
Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Udara Terhadap Penumpang
Prinsip-prinsip tanggung jawab khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah :
1. Prinsip Presumption of Liability
Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut udara tidak bertanggung jawab hanya bila la dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu.
Jadi para pihak yang dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dan pihak pengangkut. Prinsip ini dapat disimpulkan dan pasal 29 ayat (1) Ordonansi Pengangkutan Udara yang berbunyi “Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian bila ia membuktikan bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu”
2. Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab, namun bertanggung jawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah Jiatur dalam Ordonansi Pengangkutan, Udara maupun Konvensi Warsawa. Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam ordonansi dimaksudkan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Ordonansi Pengangkutan Udara, pasal yang mengatur pembatasan tanggung jawab untuk penumpang adalah pusal 30 ayat (1), yaitu:
”Pada pengangkutan penumpang, tanggung jawab pengangkut terhadap fiap–tiap penumpang atau terhadap keluarganya yang, disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) bersama-sama dibatasi sampai jumlah dua belas ribu lima ratus (Rp. 12.500,-). Jika ganti kerugian ditetapkan sebagai suatu bunga, maka jumlah uang pokok, yang dibungakan tidak boleh melebihi jumlah di alas”.
Pembatasan dan Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut
Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12 500,- per penumpang. Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah : Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati. Pasal 28 menentuk in bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini berbunyi “Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan
penumpang, bagasi dan barang”.
Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya.
Pasal 36 berbunyi “Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus.
Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan
Pihak Penumpang
Penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut atau semua orang/badan hukum pengguna jasa angkutan, baik angkutan darat, udara, laut,dan kereta api. Ada beberapa ciri penumpang :
a)      orang yang berstatus pihak dalam perjanjian pengangkutan;
b)      membayar biaya angkutan;
c)      pemegang dokumen angkutan.
Penumpang Angkutan Udara
E. Suherman menyatakan bahwa dalam penerbangan teratur (schedule) defenisi penumpang adalah setiap orang yang diangkut dengan pesawat udara oleh pengangkut berdasarkan suatu perjanjian angkutan udara dengan atau tanpa bayaran . Di dalam draft convention September 1964 pernah dirumuskan tentang defenisi penumpang di mana disebutkan bahwa penumpang adalah setiap orang yang diangkut dalam pesawat udara, kecuali orang yang merupakan anggota awak pesawat, termasuk pramugara atau pramugari. Dengan defenisi terebut, maka jelaslah semua yang termasuk awak pesawat sebagai pegawai pengangkut tidak tergolong sebagai penumpang, sedangkan pegawai darat pengangkut yang turut serta atau diangkut dengan pesawat udara baik untuk keperluan dinas pada perusahaan penerbangannya maupun untuk kepentingan pribadi dianggap sebagai penumpang biasa .
Pihak Pengangkut
Pengangkut pada umumnya adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad pengangkut memiliki dua arti, yaitu sebagai pihak penyelenggara pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan. Pengangkutan pada arti yang pertama masuk dalam subjek pengangkutan sedangkan pada arti pengangkut yang kedua masuk dalam kategori objek pengangkutan. Pengangkut memiliki arti yang luas yaitu tidak hanya terbatas atau dipertanggungjawabkan kepada crew saja, melainkan juga perusahaan-perusahaan yang melaksanakan angkutan penumpang atau barang.
Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan tersebut. Pengangkut dalam melaksanakan kewajibannya yaitu mengadakan perpindahan tempat, harus memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan antara lain, yaitu sebagai berikut:
1.      menyelenggarakan pengangkutan dengan aman, selamat dan utuh;
2.      pengangkutan diselenggarakan dengan cepat, tepat pada waktunya:
3.      diselenggarakan dengan tidak ada perubahan bentuk.
Pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang. Pengangkut dapat berstatus Badan Usaha Milik Negara/Daerah, Badan Usaha Miliki Swasta, Badan Usaha Koperasi, atau Perseorangan yang bergerak di bidang jasa pengangkutan niaga. Ada beberapa ciri dan karakteristik pengangkut yaitu sebagai berikut:
a)      perusahaan penyelenggara angkutan;
b)      menggunakan alat angkut mekanik;
c)      penerbit dokumen angkutan.
Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Udara
Dalam perjanjian pengangkutan terdapat hak dan kewajiban para pihak yang harus dilaksanakan dengan baik. Hak dan kewajibana timbul karena adanya hubungan hokum diantara para pihak. Berikut dipaparkan hak dan kewajiban pengangkut dan penumpang pada transportasi udara.

Hak dan kewajiban Pengangkut
Secara umum hak pengangkut adalah menerima pembayaran ongkos angkutan dari penumpang atau pengirim barang atas jasa angkutan yang telah diberikan. Akan tetapi di dalam ordonansi pengangkutan Udara 1939 ditentukan hak pengangkut, yaitu sebagai berikut:
a)      Pada Pasal 7 ayat (1), Setiap pengangkut barang berhak untuk meminta kepada pengirim untuk membuat dan memberikan surat yang dinamakan "surat muatan udara". Setiap pengirim berhak untuk meminta kepada pengangkut agar menerima surat tersebut.
b)      Pasal 9, Bila ada beberapa barang, pengangkut berhak meminta kepada pengirim untuk membuat beberapa surat muatan udara.
c)      Pasal 17 ayat (1), Bila penerima tidak datang, bila ia menolak untuk menerima barang-barang atau untuk membayar apa yang harus dibayamya, atau bila barang-barang tersebut disita, pengangkut wajib menyimpan barang-barang itu di tempat yang cocok atas beban dan kerugian yang berhak. Dan pada ayat (2) Pengangkut wajib memberitahukan kepada pengirim, dan dalam hal ada penyitaan, juga kepada penerima, secepat-cepatnya dengan telegram atau telepon, atas beban yang berhak tentang penyimpanan itu dan sebab-sebabnya.
Kewajiban Pengangkut
Secara umum kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang beserta bagasinya dan menjaganya dengan sebaik-baiknya hingga sampai di tempat tujuan. Akan tetapi di dalam OPU 1939 ditegaskan kewajiban pengangkut pada transportasi udara, yaitu sebagai berikut:
a) Pasal 8 ayat (3), Pengangkut harus menandatangani surat muatan udara segera setelah barang-barang diterimanya.
b) Pasal 16 ayat(2), Bila barang sudah tiba di pelabuhan udara tujuan, pengangkut berkewajiban untuk memberitahu kepada penerima barang, kecuali bila ada Perjanjian sebaliknya.
c) Pasal 17 ayat (1), Bila penerima tidak datang, bila ia menolak untuk menerima barang-barang atau untuk membayar apa yang harus dibayamya, atau bila barang-barang tersebut disita, pengangkut wajib menyimpan barang-barang itu di tempat yang cocok atas beban dan kerugian yang berhak.
d) Pasal 17 ayat (2), Pengangkut wajib memberitahukan kepada pengirim, dan dalam hal ada penyitaan, juga kepada penerima, secepat-cepatnya dengan telegram atau telepon, atas beban yang berhak tentang penyimpanan itu dan sebab-sebabnya.
Menurut Lestari Ningrum ada beberapa kewajiban pokok pengangkut udara, yaitu sebagai berikut:
1)      Mengangkut penumpang dan/atau barang serta menerbitkan dokumen angkutan sebagai imbalan haknya memperoleh pembayaran biaya angkutan;
2)      Mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan pesawat udara niaga;
3)      Dapat menjual kiriman yang telah disimpan (bukan karena sitaan) yang karena sifat dari barang tersebut mudah busuk, yang lebih dari 12 (dua belas) jam setelah pemberitahuan tidak diambil oleh penerima kiriman barang;
4)      Bertanggung jawab atas kematian atau lukanya penumpang yang diangkut, musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut, keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
Hak dan Kewajiban Penumpang Pada Angkutan Udara
Hak Penumpang
Seorang penumpang dalam perjanjian angkutan udara tentunya mempunyai hak untuk diangkut ke tempat tujuan dengan pesawat udara yang telah ditunjuk atau dimaksudkan dalam perjanjian angkutan udara yang bersangkutan63. Di samping itu juga penumpang atau ahli warisnya berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat adanya kecelakaan penerbangan atas pesawat udara yang bersangkutan. Selain itu hak-hak penumpang lainnya adalah menerima dokumen yang menyatakannya sebagai penumpang, mendapatkan pelayanan yang baik, memperoleh keamanan dan keselamatan selama dalam proses pengangkutan dan lain-lain.
Kewajiban Penumpang
Sebagai salah satu pihak dalam perjanjian angkutan udara maka penumpang memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
a)      Membayar uang angkutan, kecuali ditentukan sebalinya
b)      Mengindahkan petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau dari pegawai-pegawainya yang berwenang untuk itu
c)      Menunjukan tiketnya kepada pegawai-pegawai pengakut udara setiap saat apabila diminta
d)     Tunduk kepada peraturan-peraturan pengangkut udara mengenai syarat-syarat umum perjanjian angkutan muatan udara yang disetujuinya
e)      Memberitahukan kepada pengangkut udara tentang barang-barang berbahaya atau barang-barang terlarang yang dibawa naik sebagai bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan, termasuk pula barang-barang terlarang yang ada pada dirinya.
Apabila penumpang tidak melaksanakan kewajibannya itu, maka sebagai konsekuensinya pengakut udara berhak untuk membatalkan perjanjian angkutan udara itu.
Sengketa dan Penyelesaian Sengketa dalam Kegiatan Pengangkutan
konflik dan perselisihan mempunyai makna yang kurang lebih serupa dan dapat dipakai secara bertukaran. Tetapi ada faktor-faktor yang dapat dipakai sebagai pedoman penggunaan istilah yang lebih tepat. Faktor tersebut diantaranya :
1.      Konteks dan level, terhadap sengketa yang melibatkan banyak orang (sosial, komunal) lebih tepat disebut konflik;
2.      Terdapat ancaman fisik atau potensi merusak, apabila ada ancaman yang memiliki potensi merusak disebut konflik, tetapi jika kemungkinan besar tidak ada potensi merusak maka disebut dispute;
3.      Dimensi waktu, perselisihan biasanya ditengarahi sebagai ketidaksepakatan yang terjadi dalam dan untuk kurun yang pendek. Sedangkan konflik identik dengan kurun waktu yang panjang dan tidak dapat ditentukan berakhirnya; dan
4.      Kepentingan, perselisihan meliputi kepentingan yang bisa dinegosiasikan untuk mencari solusi yang setidaknya bisa memenuhi kepentingan para pihak.
Sedangkan konflik, terdapat kepentingan yang melibatkan masyarakat sosial sehingga sulit untuk mencari solusi berdasarkan kemauan para pihak. Secara umum konflik yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya :
1.      Konflik data, dapat terjadi karena kekuarangan informasi, kesalahan informasi, adanya perbedaan pandangan, perbedaan interpretasi/penafsiran terhadap data;
2.      Konflik kepentingan, kepentingan merupakan motivasi seseorang untuk berinteraksi antara satu dengan lainnya. Konflik kepentingan dapat terjadi karena perasaan bersaing, kepentingan substansial dari para pihak, kepentingan prosedur, dan kepentingan psikologi. Keempat hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya konflik kepentingan di antara para pihak, karena dalam suatu hubungan kerja biasanya melahirkan perasaan persaingan di antara sejawat untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi.
Tiket Penumpang
Pasal 5 ordonansi penerbangan No 10 Tahun 1939, menyatakan pengangkut udara untuk penumpang harus memberikan tiket kepada penumpang, yang harus memuat:
a.       tempat dan tanggal pemberian;
b.      tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
c.       pendaratan-antara yang direncanakan di tempat-tempat di antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan dengan tidak mengurangi hak pengangkut udara untuk mengaiukan syarat, bahwa bila perlu la dapat mengadakan perubahan-perubahan dalam pendaratan-pendaratan itu;
d.      nama dan alamat pengangkut atau pengangkut-pengangkut;
e.       pemberitahuan, bahwa pengangkutan udara tunduk kepada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung-jawab yang diatur oleh ordonansi ini atau traktat.
Selanjutnya tidak adanya tiket penumpang, kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket tersebut, tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap akan tunduk kepada ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini. Akan tetapi bila pengangkut udara menerima seorang penumpang tanpa memberikan tiket penumpang, pengangkut tidak berhak untuk menunjuk kepada ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini yang menghapus atau membatasi tanggungjawabnya.
Tiket Bagasi (Baggage Claim Tag)
Dalam Pasal 6 OPU 1939 dinyatakan pengertian bagasi, yaitu semua barang kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang penumpang, yang olehnya atau atas namanya diminta untuk diangkut melalui udara, sebelum ia memulai perjalanan udaranya. Dari pengertian bagasi dikecualikan benda-benda kecil untuk penggunaan pribadi yang ada pada penumpang atau dibawa olehnya sendiri. Selanjutnya ditentukan Tiket bagasi dibuat dalam rangkap dua, satu untuk penumpang, satu lagi untuk pengangkut udara.
Dalam tiket bagasi harus memuat:
b.      tempat dan tanggal pemberian;
c.       tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
d.      nama dan alamat pengangkut atau pengangkut-pengangkut;
e.       nomer tiket penumpang;
f.       pemberitahuan, bahwa bagasi akan diserahkan kepada pemegang tiket bagasi;
g.      jumlah dan berat barang-barang;
h.      harga yang diberitahukan oleh penumpang sesuai dengan ketentuan dalam pasal 30 ayat (2);
i.        pemberitahuan, bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk kepada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung-jawab yang diatur dalam ordonansi ini atau traktat.
Meskipun tiket bagasi merupakan salah satu alat bukti atau dokumen perjanjian pengangkutan udara akan tetapi tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket bagasi, tidak akan mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara yang tetap akan tunduk kepada ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini.
Surat Muatan Udara.
Selain tiket penumpang dan tiket bagasi,dalam pengangkutan udara masih ada dokumen pengangkutan yang lain, yaitu surat muatan udara. Menurut ketentuan Ordonasi Pengangkutan Udara Tahun 1939, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 yang menyatakan, Setiap pengangkut barang berhak untuk meminta kepada pengirim untuk membuat dan memberikan surat yang dinamakan "surat muatan udara".
Sedangkan mengenai isi dari surat muatan udara dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 OPU yang menyatakan surat muatan udara harus berisi:
a.       tempat dan tanggal surat muatan udara dibuat;
b.      tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
c.       pendaratan-pendaratan antara yang direncanakan di tempat-tempat antara kedua tempat tersebut, dengan tidak mengurangi hak pengangkut udara untuk mengajukan syarat, bahwa bila perlu ia dapat mengadakan perubahan dalam pendaratan-pendaratan itu;
d.      nama dan alamat pengangkut pertama;
e.       nama dan alamat pengirim;
f.       nama dan alamat penerima, bila perlu;
g.      jenis barang;
h.      jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda khusus atau nomer barang-barang, bila perlu;
i.        berat, juga jumlah atau besar atau ukuran barang-barang; (Lvervoer II.)
j.        keadaan luar barang-barang dan pembungkusnya;
k.      biaya pengangkutan udara, bila ditetapkan dengan perjanjian, tanggal dan tempat pembayaran dan orang-orang yang harus membayar;
l.        jika pengiriman dilakukan dengan jaminan pembayaran (rembours), harga barang-barang dan jumlah biaya, bila ada;
m.    jumlah nilai barang-barang yang dinyatakan sesuai dengan ketentuan pasal 30 ayat (2);
n.      dalam rangkap berapa surat muatan udara dibuat;
o.      surat-surat yang diserahkan kepada pengangkut untuk menyertai barang-barang;
p.      lamanya pengangkutan udara dan petunjuk ringkas tentang jalur penerbangan yang akan ditempuh, bila tentang hal ini telah diadakan, perjanjian;
q.      pemberitahuan, bahwa pengangkutan ini tunduk kepada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung-jawab yang diatur dalam ordonangi ini atau traktat.
Surat Muatan Udara dikenal juga dengan nama Surat Kargo Udara (SKU), dokumen ini dalam kegiatan penerbangan komersil memiliki fungsi sebagai prima facieadanya kontrak, penyerahan kargo, dan penerimaan persyaratan perjanjian, juga merupakan instruksi kepada pengangkut dimana dan kepada siapa kargo diserahkan dan siapa yang akan membayar.

Buku Ajar: Hukum Pengangkutan